SYAHDAN, bencana banjir dan longsor yang menimpa tiga provinsi; Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal Desember, semakin mengungkapkan sisi lain wajah Indonesia melalui sejumlah pihak yang kurang memiliki rasa empati.
Banyak pihak berdatangan untuk saling menolong saudara-saudara yang terdampak bencana akibat siklon Senyar ini.
Hal itu sah-sah saja dan justru sangat baik. Namun asalnya adalah bagaimana pemberian bantuan tersebut dianggap sebagai silogisme bahwa "jika saya memberi bantuan, maka saya adalah orang yang baik".
Pikiran tersebut akhirnya menghasilkan fenomena budaya di mana bantuan yang diberikan harus diserahkan saat kamera menyala.
Apa gunanya? Agar seluruh masyarakat mengetahui bahwa pemberi adalah seseorang yang baik dan sangat dermawan.
Sebenarnya logika tersebut merujuk pada prinsip homo economicus, yaitu bahwa manusia selalu melakukan berbagai perhitungan atau analisis, bahkan dalam hal beramal atau memberikan bantuan.
Altruisme timbal balik
Perilaku dermawan yang "hitung-hitungan" ini menunjukkan tanda-tanda altruisme timbal balik.
Kebiasaan saling membantu dalam bentuk altruisme diperkenalkan oleh Robert Trivers melalui artikelnya yang berjudul The Evolution of Reciprocal Altruism pada tahun 1971.
Menurut pandangannya, Trivers menggambarkan altruisme timbal balik sebagai harapan mendapatkan balasan di masa depan dari pihak yang telah diuntungkan, dan hal ini tidak hanya terbatas pada keluarga.
Lalu apa saja manfaat yang diperoleh para donatur dari peristiwa bencana yang terjadi di Sumatera?
Persepsi publik
Peristiwa ini sebenarnya sudah sangat dikenal oleh kita sejak lama. Misalnya, ketika para seleb media sosial (pemengaruh) secara bersamaan membuat konten berbagi uang atau barang kepada orang yang "dianggap" membutuhkan.
Para tokoh pengaruh ini sebenarnya mampu memberikan uang atau barang tanpa perlu diumumkan kepada masyarakat. Namun, tindakan tersebut tidak dilakukan agar dapat memengaruhi pandangan publik bahwa "Saya adalah seorang dermawan, saya orang yang baik".
Tidak bijaksana jika memanfaatkan bencana kemanusiaan yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang sangat terdampak sebagai alat untuk mengubah pandangan masyarakat.
Peristiwa ini seperti mengingatkan bangsa Indonesia yang dikenal dengan semangat gotong-royong, yang kini mulai terasa melemah.
Meskipun saudara-saudara kita yang terkena bencana merupakan prioritas yang harus diberi bantuan, karena penderitaan saudara kita di Sumatra juga merupakan penderitaan kita sendiri.
Namun pada kenyataannya, di media sosial sudah banyak muncul individu-individu yang memanfaatkan tragedi kemanusiaan ini sebagai kesempatan untuk memengaruhi opini masyarakat bahwa dirinya sangat peduli terhadap bencana yang menimpa Sumatera, setidaknya di depan kamera.
Jenis penyakit budaya ini sebenarnya bisa dengan mudah dikenali, namun sangat sulit untuk disembuhkan.
Untuk sembuh dari gejala penyakit kebudayaan diperlukan partisipasi bersama dan tidak boleh memaksakan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani kemanusiaan.
Beramal adalah hal yang diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dalam koridor rasa simpati dan empati, bukan hanya sekadar momen sementara untuk mengubah pandangan di media sosial.
Menyikapi bencana Sumatra
Sesungguhnya Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia menurut laporan World Giving Index 2024 yang dibuat oleh Charities Aid Foundation (CAF).
Berdasarkan laporan yang mengacu pada survei tahun 2023 terhadap 14.702 peserta dari 142 negara dan wilayah, Indonesia menduduki peringkat teratas dengan nilai 74 dari 100.
Meskipun ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan persepsi publik terhadap bencana yang menimpa Sumatera, seharusnya kita juga mengambil tindakan dan sikap.
Saat ini kita tengah menghadapi tantangan yang disebabkan oleh bencana lingkungan dan perlu menjadikan prinsip kemanusiaan sebagai prioritas utama.
Kami memiliki tanggung jawab bersama terhadap bencana yang menimpa saudara-saudara kami di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Tanggung jawab yang kita emban dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk mulai dari doa, pikiran, tenaga, dana hingga berbagai bantuan kemanusiaan lainnya yang memiliki skala mampu memberikan dukungan kepada saudara-saudara yang terkena dampak bencana.
Sudah saatnya kita bersinergi dengan pemerintah untuk segera bergerak agar dapat memastikan akses ke berbagai daerah yang terkena bencana, sehingga saudara-saudara kita yang terisolasi dapat segera mendapatkan bantuan untuk kehidupan.
Selain itu, diperlukan strategi pascabencana ekologis karena di masa depan akan menghadapi tantangan yang sangat berat, yaitu memulihkan dan meningkatkan kualitas hidup manusia dengan menyediakan penghidupan yang layak, akses pendidikan, infrastruktur yang saling terhubung dengan wilayah lain, fasilitas kesehatan yang memadai hingga tata kelola lingkungan yang baru saja rusak.
Sebagai masyarakat atau publik, kita juga bisa berperan penting dengan terus memantau kebijakan pemerintah dalam mengurangi dampak dan memperbaiki kondisi pasca-bencana ekologis ini.
Karena banjir yang melanda Sumatera berasal dari praktik deforestasi yang terlihat jelas melalui hanyutnya batang kayu oleh air banjir.
Masalah yang sangat rumit, mengingat dampak kerusakan yang besar akibat bencana yang terjadi di Pulau Sumatera, bisa menjadi sangat serius karena penggundulan hutan dan perubahan fungsi lahan, termasuk di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS).
Dihantam oleh bencana besar ini, pemerintah perlu serius dalam memperbaiki pengelolaan lahan dan hutan secara menyeluruh guna melindungi ekosistem dari bencana iklim.
Ironi terjadi setelah bencana di Sumatera, seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah untuk menyusun berbagai skenario mencegah bencana daripada hanya fokus pada penanganannya. Mungkin saja besok, tanpa kebijakan yang logis, bencana akan menimpa wilayah lain.
Saat ini waktunya untuk mengutamakan kebijakan yang tidak terlihat langsung, seperti konservasi lahan, pencegahan bencana serta tanggap terhadap krisis iklim.(ANTARA)
Oleh Fajar Satriyo
Post a Comment