Oleh: Riswanda

Dosen Untirta

SERUAN "Tugas Dosen Seperti Kuda" yang berada di halaman depan Kompas pada tanggal 19 Mei 2025 berhasil merangsang pemikiran kritis pembaca. Alasan di balik pernyataan tersebut adalah ia menciptakan sebuah paradoks dalam kebijakan yang seharusnya dipertimbangkan dengan lebih mendalam. Salah satu contohnya adalah implementasi sistem presensi harian untuk para dosen dari universitas negeri mirip seperti aturan yang ada bagi pegawai negeri sipil (PNS).

Dapat dinyatakan sebagai refleksi dari keterbatasan para perancang kebijakan dalam menyusun sketsa kerja berdasarkan karakteristik profesinya—seperti ditunjukkan oleh Riswanda di bukunya Nalar Kebijakan (2024). Ketika logika dialogik tidak hadir di ruang lab kebijakan, apa yang timbul adalah aturan otoriter yang mengklaim diri sendiri sebagai pencetus efisiensi. Kenapa demikian?

Pertama, seorang dosen bukanlah widyaiswara. Setelah pembentukan ulang Kementerian Risteksains yang terpisah dari Kemendikbud, muncul fenomena menyetarakan peran dosen dengan widyaiswara. Hal ini tentu saja merupakan pandangan yang kurang tepat secara historis dan akademis.

Kriteria performa dosen ditentukan menyesuaikan posisi fungsionalnya dalam bidang akademik. Penilaian tersebut tidak bergantung pada frekuensi kedatangan mereka setiap hari, namun lebih difokuskan pada implementasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, serta pelayanan kepada masyarakat, dan bukannya "tri absen".

Permintaan presensi harian terlihat sebagai hal yang tidak sesuai dan mungkin juga melemahkan aspek pemahaman. Dosen lebih dari sekadar guru ketrampilan; mereka adalah perancang konsep. Pendekatan absensi wajib bagi para peneliti bisa membunuh jiwa institusi pendidikan tinggi. Mengapa demikian? Para dosen kemudian akan ragu-ragu dalam melakukan penelitian karena Tridarma mengharuskan mobilitas keluar kampus. Contohnya apa saja? Berbagai persyaratan penelitian memerlukan jaringan profesi serta pengumpulan data di lapangan -- ini semua butuh kerja sama diluar kampus. Kalau dosen dipaksa seperti staf layanan publik pemerintah, hasilnya tak akan menjadi sumber ilmu tetapi hanya pegawai biasa di perguruan tinggi. Ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan fungsi akademis yang ideal.

Takut negara mengeluarkan biaya yang berlebihan dengan dalih subsidi uang makan? Menurut data dari Kompas, Indonesia memiliki rasio antara upah dosen dan harga beras paling rendah di ASEAN sebesar 143, malahan lebih rendah dibandingkan Kamboja (252,6) serta Laos (326,7). Pendapatan yang minim, tuntutan pekerjaan administrasi yang besar, ditambah lagi pengurangan otonomi akademis tak membereskan masalah esensialnya.

Belum lagi jika pada suatu hari sial dihadapkan dengan masalah yang bukan ilmiah namun dipenuhi sentimen pribadi juga menjadi tanda tanya terkait etika.

Apabila Kemendiknas ingin meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, revisi kebijakan tentang dosen sebaiknya didasarkan pada prestasi dan pengakuan terhadap kompetensi para profesional, daripada pengecekan biometrik. Bukankan pepatah berkata "seorang dosen dapat merubah jalannya pemikiran ribuan anak bangsa"? Tetapi, kalimat itu belum tentu ditambah dengan "... asalkan hadir setiap harinya."

Memahami arti dan latar belakang sosial suatu kebijakan memerlukan lebih dari sekedar pendekatan teknokratik yang fokus pada aspek-aspek prosedur. Dasar penggunaan metode biometri dan sistem log buku elektronik ini mengecilkan konsep pekerjaan akademik menjadi semacam tugas birokratis. Keberadaan saja belum cukup untuk mengukur kinerja seseorang. Walaupun demikian, diskusi umum tentang lelucon "Dosennya Seperti Kuda" sering kali dilengkapi dengan beberapa bentuk kesalahan logika (fallacy) dalam terminologi 'logika dan filsafat'. Topik utama sedikit melenceng dari inti masalahnya sendiri. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Pertama, mengenai kesalahpahaman jenis silogisme sembrono atau yang disebut sebagai "straw man". Sejumlah pihak mempersempit kritikan para dosen terhadap skema gaji mereka menjadi tuduhan bahwa mereka kurang mensyukuri apa yang telah dimiliki. Misalkan stagnansi dalam karir ilmiah dan perbedaan penelitian secara tidak adil dijadikan alasan untuk dikatakan seolah-olah "para dosen hanya berfokus pada upah saja."

Kedua, false dilemma. Pernyataan "Jika dosen tidak bersedia bekerja dengan giat, lebih baik mereka tak menjadi dosen" merupakan sebuah dilema palsu. Sepertinya hanya terdapat dua opsi: menerima kondisi seperti itu atau meninggalkan sistem sepenuhnya. Atau, tampaknya hanya ada dua alternatif: mengambil upah rendah atau merosot dalam aspek finansial. Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta laporan Departemen Keuangan tahun 2023, baru 0,26% dari seluruh anggaran negara yang digunakan untuk memperbaiki taraf hidup para dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Pertanyaannya, apakah alokasi tersebut telah dioptimalkan?

Kebutuhan sesungguhnya adalah untuk menghindari "retorika kebijakan kotak centang" dan beralih kembali ke pendekatan yang didasarkan pada arti. Kondisi saat ini membuktikan bahwa kita terlalu sering membuat keputusan publik berdasarkan "penilaian", daripada "analisis mendalam".

Sebagai pencipta logika dan metode, dosen memerlukan tempat untuk berpikir tanpa hambatan --bukan hanya ditumpuk oleh platform-platform digital yang menambah bebannya dalam urusan administratif kampus. Bukan begitu peran mereka; para dosen sebenarnya merupakan pemberi nafas bagi perkembangan negara kita ke depannya. Apakah artinya ini? Para pengajar tidak semata-mata menjadi buruh tetapi juga pemegang kendali kemajuan sains serta kreasi. Menurut laporan UNESCO Global Education Monitoring Report tahun 2023, rasio antara jumlah dosen dengan siswa di Indonesia saat ini adalah satu banding empat puluh satu, sangat menjauhi patokan ideal yaitu satu banding dua puluh lima. Berbeda halnya dengan negeri-negeri lain seperti Malaysia dan Thailand yang telah berhasil mereduce angka tersebut menjadi masing-masing satu banding dua puluh dua dan satu banding tujuh belas.

Jalan keluar?

Integrasi sistem portofolio akademik dari platform online seperti SISTER atau SINTA, ditambah dengan platform lokal universitas harus diperkuat agar dapat menampung portofolio akademik terkini para dosen. Ini seharusnya mencerminkan kualitas penelitian ilmiah mereka, bukan hanya tugas administratif biasa. Untuk melampaui budaya "kerja sendiri-sendiri", kita bisa belajar dari model ETH Zurich yang menggunakan sistem tenure track untuk menghargai kontribusi jangka panjang dalam bidang keilmuan.

Selanjutnya, Stanford melepaskan para dosen dari tugas administrasi yang terlalu banyak supaya mereka bisa mengkhususkan diri dalam penelitian berteknologi tinggi. Tidak hanya itu, cuti istirahat berkala setiap tujuh tahun juga ditawarkan secara rutin guna meningkatkan kemampuan intelektual mereka. ***

Post a Comment

Previous Post Next Post