11 Kapal Koalisi Freedom Flotilla Hadapi Blokade 'Israel': Armada Kemanusiaan Kembali ke Gaza

Konvoi Nurani dari Laut Tengah

Di atas laut yang tenang, suara jangkar dan teriakan awak kapal menggema — tanda dimulainya kembali pelayaran yang tetap menjadi perlawanan moral. Di dermaga kecil di Italia, bendera Italia dan Prancis berkibar berdampingan. Mereka membawa misi kemanusiaan: menembus blokade ‘Israel’ yang telah menutup Gaza selama hampir dua dekade.

Freedom Flotilla Coalition (FFC), organisasi internasional yang berdiri sejak 2008, kembali mengirimkan armada bantuan. Kali ini jumlahnya 11 kapal. Mereka menyebutnya sebagai “konvoi nurani” menuju Gaza. Dalam pernyataan resminya, FFC menyebutkan bahwa sekitar 100 orang berada di atas kapal-kapal tersebut, di lepas Pantai Kreta.

Perjalanan Konvoi Nurani

Menurut FFC, dua kapal berbendera Italia dan Prancis berangkat dari Otranto, Italia, pada Kamis, 25 September. Mereka bergabung dengan kapal Conscience lima hari kemudian, lalu berlayar bersama delapan kapal lain yang tergabung dalam misi bertajuk “Thousand Madeleines to Gaza.” Kapal-kapal tersebut diperkirakan akan bertemu dengan konvoi delapan kapal lainnya dalam beberapa jam. Bersama-sama, mereka akan membentuk armada 11 kapal menuju Gaza.

Misi ini bukan yang pertama. Sejak berdirinya, Freedom Flotilla Coalition telah mengirim puluhan kapal yang membawa bantuan medis, bahan pangan, dan pesan solidaritas internasional bagi rakyat Gaza. Tujuannya jelas: menantang blokade laut yang diberlakukan ‘Israel’ sejak 2007.

Namun, laut di sekitar Gaza bukan hanya medan kemanusiaan, tapi juga garis depan militer. Sehari sebelumnya, pasukan angkatan laut ‘Israel’ menyerang dan menyita 42 kapal yang mencoba memasuki wilayah tersebut. Lebih dari 450 aktivis di dalamnya ditahan. FFC menyebut tindakan itu sebagai upaya membungkam suara kemanusiaan. Tapi bagi mereka yang kini kembali berlayar, setiap risiko sudah diperhitungkan — dan diterima dengan keyakinan bahwa dunia harus terus diingatkan akan krisis yang terjadi di Gaza.

Blokade yang Membunuh dalam Senyap

Blokade ‘Israel’ atas Jalur Gaza telah berlangsung selama hampir 18 tahun. Sekitar 2,4 juta penduduk hidup di wilayah sempit itu, di bawah pengawasan ketat, dengan akses terbatas terhadap air bersih, obat-obatan, dan bahan pangan. Kondisi makin memburuk sejak Maret 2025, ketika ‘Israel’ menutup total penyeberangan perbatasan dan memblokir pengiriman logistik. Dampaknya, PBB menyebut Gaza sebagai “wilayah yang tak lagi layak huni.”

Lebih dari sekadar blokade, yang terjadi kini adalah krisis kemanusiaan besar. Sejak Oktober 2023, pengeboman ‘Israel’ telah menewaskan lebih dari 66.200 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Laporan lembaga kemanusiaan menegaskan bahwa kelaparan dan penyakit menular menyebar dengan cepat, memperburuk penderitaan yang seolah tak berujung.

Namun, di tengah situasi gelap itu, konvoi 11 kapal ini menjadi titik cahaya kecil. Bukan karena mereka membawa logistik dalam jumlah besar, tapi karena mereka menolak diam. Mereka mengingatkan dunia bahwa Gaza masih hidup — dan masih menunggu pertolongan.

Laut sebagai Saksi Bisu

Laut di perbatasan Gaza telah menjadi saksi bisu dari banyak tragedi: kapal yang diserang, muatan yang disita, aktivis yang dideportasi. Tapi laut juga menyimpan kisah keberanian — tentang mereka yang berlayar bukan karena ingin perang, melainkan karena menolak keheningan.

Setiap tahun, Freedom Flotilla Coalition mencoba lagi dan lagi. Mereka tahu risikonya. Mereka tahu kapal-kapal itu bisa saja tak pernah sampai. Tapi seperti yang diungkapkan salah satu aktivis dalam wawancara sebelumnya, “Lebih baik gagal di laut dengan martabat, daripada berdiam diri di darat menyaksikan ketidakadilan.”

Mungkin di mata dunia, misi ini tampak kecil. Namun di mata mereka yang kehilangan rumah, anak, dan harapan, setiap layar putih yang terlihat di cakrawala adalah tanda bahwa mereka belum dilupakan.

Dan di tengah gelombang Laut Tengah, 11 kapal kecil itu kini berlayar menuju Gaza — membawa bukan hanya bantuan, tetapi juga pesan paling universal: kemanusiaan seharusnya tak diblokade.

Post a Comment

Previous Post Next Post