https://www.masrizky.biz.id/.CO.ID, JAKART- Jakarta menghadapi risiko banjir rob yang semakin meningkat akibat kondisi geografisnya yang berbatasan dengan laut dan litologinya yang rentan ambles.

Lebih dari separuh penduduk kota ini tinggal di kawasan pesisir yang menjadi pusat aktivitas ekonomi utama, sementara 13 sungai besar bermuara di Teluk Jakarta. Di sisi lain, 40 persen wilayahnya saat ini berada di bawah muka air laut pasang.

Untuk mengatasi ancaman ini, pada 2014 pemerintah bersama 20 konsultan Belanda merancang proyek bernama National Capital Integrated Coastal Development atau Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (NCICD/PTPIN) yang bertujuan melindungi kawasan pesisir Jakarta dari risiko banjir dan penurunan muka tanah.

Sebagai langkah awal dari proyek ini adalah pembangunan tanggul pantai dalam fase A, yang sedang direalisasikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat.

Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Jakarta telah menyelesaikan pembangunan tanggul pantai sepanjang 8,5 kilometer sebagai bagian dari NCICD Fase A, dari total target 21 kilometer.

Proyek ini mencakup enam lokasi, yaitu Kamal Muara, Muara Angke, Pantai Mutiara, Muara Baru-Pantai Timur, Sunda Kelapa-Ancol Barat, dan Kali Blencong.

Dengan sisa panjang 12,5 kilometer yang masih harus dibangun, pemerintah daerah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek ini guna meningkatkan perlindungan terhadap banjir rob dan memperbaiki kondisi lingkungan pesisir Jakarta.

BACA JUG: Media Ungkap Ali Khamenei akan Lakukan Serangan Balasan Mendadak ke Israel

Menguak Misteri Jasad Seorang Nabi yang Dimakamkan Beberapa Tahun Setelah Wafatnya Rasulullah SAW

http://https://www.masrizky.biz.id/.co.id/berita//sz41y2320/menguak-misteri-jasad-seorang-nabi-yang-dimakamkan-beberapa-tahun-setelah-wafatnya-rasulullah-saw

Ditengah realisasi fase A yang masih berjalan, muncul wacana pembangunan lebih lanjut yakni Giant Sea Wall (GSW) dan Giant Mangrove Wall (GMW).

Namun, bagaimana realisasi selanjutnya terhadap proyek NCICD fase B dan C yang berupa tanggul laut ini? Bagaimana pula feasibility terhadap Giant Mangrove Wall yang akan dikembangkan oleh gubernur terpilih Jakarta 2025-2030?

Pengendara motor melintasi genangan rob di Muara Angke, Jakarta, Rabu (25/6/2025). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta mengimbau masyarakat yang tinggal di wialayah pesisir utara Jakarta untuk mewaspadai potensi banjir rob akibat adanya fenomena Super New Moon atau fase bulan baru yang puncaknya terjadi pada 27 Juni 2025. - (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

Gubernur DKI Jakarta terpilih, Pramono Anung, dalam berbagai pernyataan publiknya menegaskan bahwa pemerintahannya akan mengembangkan konsep GMW di atas tanggul raksasa GSW yang merupakan kelanjutan dari NCICD pada fase B dan C.

Menurut Pramono, kombinasi antara infrastruktur dan ekosistem alami ini dapat memperkuat perlindungan pesisir serta memberikan manfaat ekologis yang lebih luas.

Namun, bagaimana kondisi ekosistem mangrove saat ini di pesisir Jakarta dan apakah kondisi lahannya memungkinkan untuk dilakukan restorasi mangrove?

Secara ekologis, mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi dan dapat memperlambat banjir rob yang umum terjadi di wilayah pesisir.

Ekosistem ini memiliki kemampuan untuk meredam gelombang, menstabilkan sedimentasi, serta meningkatkan ketahanan garis pantai terhadap abrasi, sehingga perannya sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan pesisir.

Pertumbuhannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi tanah, kadar garam, tingkat penggenangan, dinamika pasang surut, serta ketersediaan oksigen, yang menentukan kelangsungan hidup dan persebaran vegetasi mangrove.

Saat ini, penurunan luas ekosistem mangrove di pesisir Jakarta telah berkurang lebih dari 50 persen menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penurunan ini menjadi bukti rumitnya upaya rehabilitasi, terutama karena mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil.

Dari telaah citra satelit, kemungkinan mangrove di Jakarta yang masih dapat tumbuh hanya berada di sebagian barat di wilayah Muara Angke dan Penjaringan di sekitar muara sungai Ciliwung.

Serta di sebelah Timur tepatnya di Kelurahan Marunda dengan input sedimen dari muara sungai Citarum.

Selain wilayah tersebut, lahan pesisir di Jakarta secara alami sepertinya tidak punya potensi untuk tumbuh kembang mangrove dikarenakan jumlah sedimen yang tidak cukup dan apabila akan membuat daerah potensial lainnya diperlukan modifikasi lahan atau bahkan perubahan aliran sedimen sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.

Foto udara kondisi Perumahan Tahap III Sriwulan terisolasi ketika air pasang tinggi merendam akses jalan keluar-masuk perumahan di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (4/6/2025). Organisasi nirlaba perubahan iklim Climate Central melalui proyeksi citra satelit terhadap kenaikan permukaan air laut tahunan, memprediksi wilayah pesisir utara Kabupaten Demak terancam hilang tenggelam oleh air laut pada tahun 2030 akibat terdampak abrasi, penurunan permukaan tanah disertai banjir limpahan air laut ke daratan (rob) dampak dari krisis iklim. - (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Maka bisa pemerintah DKI mentargetkan restorasi mangrove di Jakarta sejak tahun berjalan, fokus pertama bisa diterapkan di wilayah yang terbukti mendukung dengan adanya ekosistem mangrove tersisa, seperti di Kecamatan Penjaringan dan sebagian kecil di Kelurahan Marunda.

Meskipun demikian, realisasi rencana ini juga menghadapi tantangan besar akibat penurunan muka tanah di Jakarta yang parah, yang utamanya disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan, disamping sebab minor yakni pemadatan alami tanah aluvial dan beban infrastruktur yang membebani tanah lunak wilayah Utara Jakarta.

Ketergantungan warga Jakarta pada sumur bor akibat keterbatasan suplai air perpipaan menyebabkan penurunan tanah hingga 10–28 cm per tahun di beberapa wilayah, yang diperparah oleh tekanan dari gedung pencakar langit dan jalan tol yang semakin masif.

Misalnya, wilayah Pluit dan Ancol di Jakarta Utara telah mengalami penurunan tanah yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi meskipun berbagai infrastruktur mitigasi telah dibangun.

Merealisasikan proyek ini dalam masa jabatan gubernur terpilih 2025-2030 tampaknya sulit tercapai. Salah satu alasan utama adalah kompleksitas teknis dan birokrasi karena terkait dengan koordinasi lintas sektor, khususnya pada perencanaan jangka panjang.

Sebagai contoh, proyek NCICD fase A yang berfokus pada pembangunan tanggul pantai sebagai langkah awal perlindungan pesisir baru berhasil menyelesaikan 8,5 km dari target 21 km selama hampir satu dekade.

Proyek yang diinisiasi pada 2016 ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari yang direncanakan karena berbagai faktor, termasuk perizinan, pembebasan lahan, serta dampak lingkungan dan sosial.

Situasi ini mirip dengan proyek rehabilitasi mangrove di pesisir utara Jakarta yang digagas sejak awal 2000-an, tetapi mengalami banyak hambatan mulai dari kualitas lahan yang tidak mendukung pertumbuhan mangrove hingga konflik kepentingan antara pembangunan infrastruktur dan konservasi ekosistem pesisir.

Pengendara motor melintasi genangan rob di Muara Angke, Jakarta, Rabu (25/6/2025). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta mengimbau masyarakat yang tinggal di wialayah pesisir utara Jakarta untuk mewaspadai potensi banjir rob akibat adanya fenomena Super New Moon atau fase bulan baru yang puncaknya terjadi pada 27 Juni 2025. - (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
 

Lalu, apakah target pembangunan GMW akan mengalami hal yang sama? Gagasan pembangunan GMW dan GSW memang menarik secara konsep, namun implementasinya masih jauh dari kepastian.

Secara teknis, proyek ini memerlukan kajian mendalam terkait visibilitas, adaptasi ekosistem, serta kesesuaian lokasi, terutama mengingat kondisi pesisir Jakarta yang telah mengalami perubahan signifikan akibat reklamasi dan penurunan muka tanah.

Sebagai contoh, proyek rehabilitasi mangrove di area pesisir buatan memerlukan desain ekologi termasuk rekayasa substrat dan sistem drainase yang tepat agar mangrove dapat bertahan dalam jangka panjang.

Rekayasa teknik memang selalu bisa dikerjakan bahkan untuk lahan dengan tanggul NCICD fase A yang material utamanya keras dan tidak memiliki lanau tempat akar mangrove berdiri.

Tapi dengan berbagai tantangan yang ada, pembangunan GMW sangat membutuhkan kesungguhan pengelola wilayah terlepas apakah ia sebuah solusi yang realistis atau hanya akan menjadi angan-angan yang sulit terwujud.

*Artikel ini ditulis oleh Yus Budiyono peneliti kebencanaan hidrometeorologi BRIN

dan Shafa Awalia adalah mahasiswa program MBKM BRIN di Kelompok Riset Kebencanaan Hidrometeorologi

Post a Comment

Previous Post Next Post