
Masrizky.CO.ID – JAKARTA. Beberapa harga barang berjangka mencatat peningkatan selama seminggu terakhir. Kenaikan ini terjadi meskipun ada perlambatan pada permintaan dunia serta pengurangan produksi.
Menurut data dari Trading Economics pada hari Kamis (29/5) pukul 19:00 WIB, harga gas alam telah naik sebesar 8,46% minggu ini hingga mencapai US$ 3,571 per MMBtu. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga menanjak dengan kenaikan 2,23%, yaitu menjadi US$ 61,987 per barel. Sedangkan untuk harga emas berjangka diamati sedikit mengalami peningkatan sebanyak 0,43% dan saat ini bernilai US$ 3.302,0 per ons troy.
Sutopo Widodo dari Presiden Komisioner HFX International Berjangka mengamati bahwa siklus peningkatan harga komoditas semakin naik karena kepercayaan pasar tentang kelangkaan suplai serta daya tahan permintaan yang diprediksikan untuk periode mendatang.
Beberapa faktor penyebabnya meliputi ketidakstabilan geopolitik yang mempengaruhi jalur pasokan, bencana alam yang merusak kemampuan produksi, dan kekurangan investasi sebelumnya sehingga mengekang daya hasil maksimal industri tersebut.
Menurut Sutopo, barang-barang tertentu pada periode ini sering dilihat sebagai instrumen finansial yang akan diminati jika terdapat prediksi peningkatan harga di masa mendatang atau untuk mencari tempat berlindung aman dari ketidakstabilan ekonomi.
"Bila kita lihat dari keseluruhan, dolar Amerika Serikat sedang dalam kondisi menurun. Hal ini membuat barang-barang bernilai dolar AS menjadi lebih terjangkau untuk para pembeli luar negeri, sehingga dapat meningkatkan minat beli mereka," ungkap Sutopo saat diwawancara oleh Masrizky.co.id, Kamis (29/5).
Selain itu, tekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi serta penerapan kebijakan longgar dapat memaksa produsen untuk meningkatkan harganya. Konsep siklus komoditi jangka panjang mengindikasikan bahwa harga cenderung naik apabila pasar memiliki keyakinan bahwa global sedang memasuki tahap pertumbuhan siklikal, meskipun ada perlambatan pada tingkat permintaan saat ini.
"Jadi, bisa dikatakan bahwa pemangkasan produksi yang lebih besar dari kelesuan permintaan ditambah faktor geopolitik, sentimen investor, dan ekspektasi makro ekonomi yang lebih luas, kemungkinan besar yang menyebabkan harga komoditas terus merangkak naik," ujar Sutopo.
Sutopo menjelaskan, bagi negara-negara pengonsumsi komoditas, kenaikan harga global akan membawa tantangan ekonomi yang cukup besar. Peningkatan inflasi akibat meningkatnya biaya produksi, yang kemudian mengurangi daya beli masyarakat dan menekan konsumsi.
Konsekuensinya akan mempengaruhi keseimbangan perdagangan karena biaya impor yang meningkat,
Akhirnya, situasi keuangan yang sulit di negera-negera konsumen tersebut pada gilirannya akan berdampak pada permintaan dunia di kemudian hari. Meskipun demikian, walaupun barang-barang penting masih diperlukan, namun permintaan atas bahan mentah dan produk-produk industri dapat mengalami perubahan cukup signifikan.
Kini mungkin tengah masuk dalam siklus super komoditas jangka panjang yang dapat berlangsung selama beberapa tahun, dipacu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia serta permintaan bahan baru guna mendukung perubahan sistem energi. Akan tetapi, apakah pola ini terus berlanjut sangat ditentukan oleh perkembangan ekonomi global, ketetapan geopolitik, dan dinamika suplai di masa depan.
Pakar barang dagangan Ibrahi Assuaibi menyebutkan bahwa pola peningkatan saat ini diprediksi baru berlangsung untuk periode singkat. Sebab, pelaksanaan keputusan tariff oleh Trump yang awalnya diundur selama 90 hari akan dimulai penerapkannya dalam waktu satu hingga dua bulan mendatang.
"Ini berarti bahwa implementasi tarif tersebut dapat mempengaruhi ekonomi dunia secara luas serta merubah pola permintaan di masa mendatang. Khususnya, pemberlakuan tarif sebesar 30% oleh Amerika Serikat terhadap Cina selama dua bulan kedepan," jelas Ibrahim kepada Masrizky.co.id pada hari Kamis, tanggal 29 Mei.
Ibrahim mengatakan bahwa kontroversi seputar implementasi sanksi ekonomi di daerah pengekspor barang-barang juga berperan penting dalam meningkatkan harga produk-produk tersebut. Sebagai contoh, sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa terhadap Rusia sangat signifikan dan mencakup komoditas seperti gas alam serta minyak mentah.
"Kebijakan hawkish The Fed yang menunjukkan tidak adanya pembahasan tentang pengurangan tingkat suku bunga pada bulan Juni karena ketidakpastian dari perang tarif tersebut juga akan mempengaruhi dinamika harga komoditas selanjutnya, khususnya emas. Emas, dalam konteks ini, dilihat sebagai aset pelindungan nilai dan menjadi incaran banyak orang," jelas Ibrahim.
Analis dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyatakan bahwa biasanya harga cenderung meningkat jika terjadi gangguan dalam proses produksi atau adanya ekspektasi peningkatan permintaan. Hal serupa juga dialami oleh harga minyak minggu lalu yang mendapat dukungan dari ketidakpastian mengenai sanksi terhadap Rusia dan Iran serta putusan pengadilan Amerika Serikat yang menilai kebijakan tariff balasan Presiden AS Donald Trump sebagai tidak valid.
Berikut ini adalah penjelasan: Pengadilan Perdagangan Internasional yang bernaung di Manhattan mengonfirmasi bahwa kebijakan tariff milik Trump melebihi batasan otoritasnya saat menerapkan bea masuk merata kepada hampir seluruh negara.
"Bila nantinya aturan tariff ini secara resmi dicabut oleh pengadilan di masa mendatang, hal tersebut dapat mempengaruhi dinamika harga komoditas ke depannya," terangkan Lukman saat ditemui Masrizky.co.id, Kamis (29/5).
Secara umum, Lukman mengira bahwa peningkatan yang terjadi sekarang hanyalah fenomena jangka pendek dan paling sedikit akan berlanjut hingga kuarter kedua tahun 2025. Ia percaya bahwa masa depan harga barang-barang tersebut masih bergantung pada ketidaktentuan berkaitan dengan kebijakan tariff. Apabila nanti terdapat kenaikan, hal itu diperkirakannya takkan signifikan serta tidak bakal bertahan cukup lama.
Post a Comment