
Mas Rizky , Jakarta - PT Indonesia Morowali Industrial Park ( IMIP ) menjamin ekosistemnya sudah mengantongi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan ( Amdal ) sejak 2020. Head of Media Relations PT IMIP Dedy Kurniawan mengatakan nilai kawasan industri pengolahan nikel seluas 2.000 hektare di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah ini terus meningkat. Pengembangan masih berjalan untuk menunjang investasi yang masuk.
“Luas pengembangan kawasan yang diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) seluas 1.800 hektare. Saat itu nomenklaturnya masih belum terpisah dengan Kementerian Kehutanan," kata Dedy melalui pesan tertulis kepada Tempo , Kamis, 19 Juni 2025.
Dia memastikan dokumen persyaratan sudah diajukan pada 2023 melalui aplikasi Amdalnet. Kini PT IMIP masih menunggu persetujuan dari KLH. Manajemen, menurut Dedy, sudah menjalani sidang Amdal dan tengah menunggu draft surat keputusan (SK).
Teknologi industri yang digunakan di kawasan IMIP juga diklaim sudah sesuai dengan upaya menekan emisi hasil aktivitas smelter . Dedy menyebut IMIP selalu memantau kualitas udara secara berkala dan real-time menggunakan dengan Continous Emision Monitoring System (CEMS). Ada juga pemantauan manual oleh laboratorium terakreditasi yang dilaporkan ke instansi berwenang.
"Pemantauan kualitas udara ini langsung termonitor oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLH, khususnya pada bagian Sistem Informasi Pemantauan Emisi Industri secara Terus Menerus (SISPEK)," tutur dia.
Saat ini, Dedy meneruskan, ada 58 titik di area IMP yang dipasangi CEMS. "Sisanya masih sedang dalam progres s pemasangan."
Klaim Dedy bertolak belakangan dengan sejumlah dugaan pelanggaran lingkungan IMPI yang belakangan dipaparkan oleh KLH. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pengawas mendapati bukaan lahan seluas 179 hektare yang berbatasan langsung dengan area IMIP. Beberapa fasilitas di lokasi juga tidak tercantum dalam dokumen Amdal.
“PT IMIP harus menghentikan kegiatan yang belum dilingkup dalam persetujuan lingkungannya,” kata Menteri Hanif pada Rabu, 18 Juni lalu.
Tim KLH juga mengindikasi kualitas udara yang buruk di wilayah industri IMIP. Hasil pemantauan terhadap udara ambien menunjukan parameter TSP (dust) dan PM 10 melebihi baku mutu. Kondisi udara ini ditengarai akibat 24 sumber emisi pada tenant di IMIP tidak terpasangi CEMS. PT IMIP juga disebut tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal, sehingga air limbahnya mencemari lingkungan.
Hanif juga menyinggung soal operasional Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bahomakmur yang belum memiliki persetujuan lingkungan. "Pengelolaan air lindi dari sampah juga tidak dilakukan dengan baik dan berpotensi mencemari lingkungan sekitar," katanya.
Merespons temuan KLH, Dedy menyebut PT IMIP berinvestasi dalam teknologi yang ramah lingkungan. Untuk target jangka panjang, kata dia, perusahaan sedang bertransisi ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Ada proyek pembangkit listrik tenaga surya yang mulai berjalan, serta proyek pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang kini masih dalam tahap penelitian.
Adapun IPAL komunal masih rumit dibangun di kawasan atau masing-masing smelter nikel IMIP karena kendala topografi. Manajemen IMPI mengakui IPAL komunal memang bisa mengolah limbah industri secara efisien dengan biaya yang lebih terjangkau.
Kendala soal pengembangan IPAL, kata Dedy, sudah dikonsultasikan kepada KLH. "Hasilnya, berdasarkan berita acara nomor 182/KLHIMIP/BA/MWL/VI/2023, tertuang bahwa kawasan IMIP boleh memiliki IPAL komunal klaster," katanya. Artinya, kata dia, para penyewa atau tenant mengelola IPAL secara mandiri, kemudian disalurkan ke kanal yang dikelola oleh IMIP.
Post a Comment