
KEPRI POST – Dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan asma di Indonesia, AstraZeneca Indonesia terus mendorong kolaborasi lintas sektor bersama pemerintah, fasilitas layanan kesehatan, tenaga medis, dan komunitas pasien.
Langkah ini menjadi bagian dari komitmen AstraZeneca sebagai perusahaan biofarmasi berbasis sains untuk menghadirkan pengobatan yang lebih tepat, aman, dan berbasis bukti ilmiah.
Melalui kemitraan dengan Kementerian Kesehatan RI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), AstraZeneca aktif menyelenggarakan program edukasi dan sosialisasi tata laksana asma yang merujuk pada pedoman terbaru Global Initiative for Asthma (GINA) 2025.
Pedoman GINA 2025 menekankan bahwa penggunaan obat pelega (SABA) tunggal tidak lagi direkomendasikan sebagai lini pertama terapi, karena hanya bersifat meredakan gejala sementara dan tidak mengatasi peradangan saluran napas—penyebab utama asma.
Sebagai gantinya, GINA menganjurkan terapi kombinasi berbasis antiinflamasi, yakni Inhaled Corticosteroid (ICS) – Formoterol, yang efektif meredakan gejala dan sekaligus menurunkan peradangan.
Pendekatan ini lebih preventif dan mengurangi risiko kekambuhan maupun eksaserbasi yang berujung pada komplikasi serius hingga kematian.
Edukasi Berbasis Ilmiah dan Kolaboratif
Esra Erkomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, menegaskan pentingnya kolaborasi dan pendekatan sains dalam mengubah paradigma pengobatan asma.
“AstraZeneca berkomitmen mendukung transformasi pengobatan asma ke arah yang lebih komprehensif dan preventif. Kami percaya bahwa kemajuan sains harus diterjemahkan dalam aksi nyata, melalui kerja sama lintas sektor yang berdampak langsung pada kehidupan pasien,” ujarnya, dalam keterangan tertulis pada Rabu, 18 Juni 2025.
Dalam rangka peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, AstraZeneca bersama Kementerian Kesehatan menyelenggarakan seminar One Asthma Forum yang diikuti oleh 500 dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Forum ini menjadi ajang sosialisasi pedoman GINA terbaru sekaligus edukasi penguatan tatalaksana asma di lini pelayanan primer.
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, menyampaikan:
“Kemenkes terus memperkuat layanan asma melalui pendekatan promotif dan preventif. Kolaborasi dengan mitra seperti AstraZeneca memperluas akses layanan yang komprehensif dan sesuai standar global.”
Edukasi Lanjutan untuk Dokter Spesialis Paru
Selain itu, AstraZeneca bersama PDPI juga menggelar edukasi untuk 400–500 dokter spesialis paru dengan tema “Make Inhaled Treatments Accessible for All.”
Fokus utama kegiatan ini adalah edukasi penggunaan terapi inhalasi berbasis ICS–formoterol, risiko penggunaan SABA jangka panjang, dan manajemen asma kronis dan eksaserbasi sesuai pedoman GINA 2025.
Prof. Dr. dr. Anna Rozaliyani, M.Biomed., Sp.P(K), Sekjen PDPI, mengatakan “Kolaborasi ini memperkuat pemahaman klinis tenaga medis agar mampu mengenali gejala sejak dini, mendiagnosis lebih akurat, dan memilih terapi yang tepat. Dengan edukasi berkelanjutan, kualitas hidup pasien asma akan meningkat secara signifikan.”
Tantangan Asma Global dan di Indonesia
Menurut data World Health Organization (WHO), pada 2019 terdapat 262 juta penderita asma di dunia dengan angka kematian mencapai 455.000 jiwa. Di Indonesia sendiri, prevalensi asma yang terdiagnosis secara klinis tercatat sebesar 1,6%, dengan 58,3% pasien mengalami kekambuhan dalam 12 bulan terakhir.
Meskipun sebagian kecil penderita tergolong asma berat, kelompok ini menyumbang beban ekonomi tertinggi dalam pembiayaan layanan kesehatan, karena sering disertai penyakit penyerta dan berisiko menyebabkan kematian dini.
Melalui edukasi medis, advokasi kebijakan, dan penyediaan terapi berbasis sains, AstraZeneca optimis pendekatan baru dalam pengobatan asma dapat memberikan dampak nyata.
“Dengan kerja sama lintas sektor, kami berharap makin banyak pasien Indonesia yang bisa menjalani hidup lebih sehat, aktif, dan terbebas dari serangan asma berulang,” tutup Esra Erkomay. ***
Post a Comment