
Reformasi polisi di Indonesia tetap merupakan tugas berat yang belum terselesaikan sejak masa Reformasi pada tahun 1998. Terkadang janji perbaikan terus dibicarakan secara luas, tapi realitas di medan kerja seringkali tidak sesuai harapan. Badan yang semestinya menjaga dan membela publik malah acapkali menjadi penyebab ketidakyakinan rakyat. Insiden kekerasan dengan pihak berwenang, siklus kesewenangan yang tak tertangani, serta kasus-kasus dalam lingkup sendiri senantiasa menciptakan gambaran kelam tentang lembaga penegak hukum tersebut.
Artikel ini bukan bermaksud mengurangi peran kepolisian Republik Indonesia (Polri), tetapi lebih pada peninjauan terhadap operasionalnya dengan tujuan melakukan pemosisian ulang bagi Polri agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Kepolisisnan. Saat ini, diperlukan adanya pemosisian ulang bagi Polri tanpa mesti merombak struktur mereka dalam memberikan layanan kepada masyarakat umum.
Citra Positif Polri
Menurut data dari survei nasional yang berjudul "Evaluasi Publik atas Kinerja Kepolisian, Keamanan dan Masalah-masalah Sosial Kemasyarakatan" pada tanggal 17 hingga 21 Oktober 2023, persepsi publik tentang kepolisian tetap menjadi masalah besar. Sekitar setengah jumlah penduduk (48,3%) telah menyaksikan polisi gaya hidup boros menggunakan pakaian atau memiliki barang-barang mewah. Hal tersebut menghasilkan ketidaksesuaian antara mereka dan masyarakat serta meningkatkan pandangan negatif tentang kurangnya pemahaman beberapa petugas terkait aspirasi rakyat. Di samping itu, lebih dari satu pertiga partisipan (29,7%) merasa para personel sering kali bersikap sombong atau tidak efektif selama menjalankan tugas, sehingga semakin mempersulit komunikasi dengan masyarakat umum (Indikator, 2023).
Berikutnya dalam penelitian itu, ditemukan bahwa pungutan liar (pungli) tetap menjadi sorotan negatif. Dari responden yang disurvei, sekitar 24,6% menyatakan telah jadi korban pungli, khususnya ketika mendapatkan layanan untuk pengurusan dokumen seperti SIM atau SKCK. Fenomena ini, yang dialami oleh keluarga mereka juga, semakin memberatkan tugas bagi Polri guna meningkatkan imej lembaga sebagai penyedia layanan kepada rakyat, dan bukannya memeras keuntungan dari rakyat.
- Prabowo Nilai Kewenangan Polri Sudah Cukup dan Tak Perlu Diperluas
- Menkesnyegaskan Bahwa Diskusi Tentang Peninjauan Kembali Undang-Undang Polri dan Kejaksaan Akan Dimulakan Pada Tahun Ini
- Polri Lakukan Penertiban Bersama Melawan Premanisme
Walaupun demikian, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri mengalami peningkatan yang positif. Kira-kira 76,4% dari penduduk menyatakan memiliki rasa percaya cukup besar hingga sangat besar terhadap lembaga ini, naik jika dibandingkan dengan tahun lalu ketika kepercayaan pernah turun drastis. Meskipun demikian, sekitar 23% responden tetap merasakan sedikitnya sampai tidak ada kepercayaan pada organisasi tersebut berdasarkan hasil survei itu.
Walaupun ada peningkatan dalam performa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di mata publik—terlebih lagi bagi kalangan masyarakat berpendapatan rendah—they remain the group most affected by the inefficacy of police services. Melapor tentang hilangnya sejumlah kecil harta benda pun bisa sangat merepotkan karena mereka harus melewati rangkaian proses birokratis yang kompleks serta sering kali didera oleh sikap anggota kepolisian yang sombong. Tak jarang, orang lebih memilih untuk mengabaikan permasalahan tersebut daripada menambah beban rasa frustrasi mereka. Sebaliknya dari tujuan awal sebagai penyedia layanan kepada masyarakat, citra kepolisian justru semakin menjauh dan kurang dekat dengan keperluan warganya.
Reformasi Internal
Akan tetapi, permasalahan tersebut tak sekadar terbatas pada layanan publik saja. Saat kasus-kasus besar muncul, seperti skandal suap, tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, serta sejumlah masalah lainnya, hal itu memicu keruntuhan kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisan. Penggunaan kekuatan berlebih dalam menangani protes rakyat atau konfrontasi, contohnya, dapat memberi dampak negatif baik secara fisikal ataupun mental bagi para korban. Aksi-aksi serupa ini merujuk pada ada nya gangguan struktural yang masih harus diselesaikan, mulai dari kurikulum pelatihan anggota kepolisian sampai dengan norma-norma internal yang telah tertanam.
Masalah pada sistem perekrutan dan pelatihan kepolisian tak cuma soal masalah teknikal; ini justru merambah ke inti profesi dan kesopanan lembaga tersebut. Bila tahapan penyeleksian dicemarkan oleh perilaku tawar-menawar serta pembinaan hanya fokus pada hal-hal teknis saja, output-nya akan berupa petugas yang kurang mampu menjalin ikatan positif bersama warga. Sebab itu, dibutuhkannya pembaruan total—bukan sekedar membentuk tenaga kepolisan yang kompeten secara undang-undang, tapi juga mereka yang bisa mendengarkan, menghargai, dan memberikan layanan kepada rakyat dengan simpati dan moralitas. Perombakan seperti inilah satu-satunya cara untuk meregenerasi dan meningkatkan kembali keyakinan publik terhadap instansi kepolisian.
Masalah tersebut diperburuk oleh tumbuhnya budaya ketidaktegasan dalam memberlakukan hukum. Banyak aparat yang dengan gamblang telah melakukan pelanggaran tetapi malah menerima konsekuensi yang sangat ringan ataupun tidak dituntut sama sekali. Rasa solidaritas antara anggota sering digunakan sebagai perisai untuk menyembunyikan kelalaian, sehingga membentuk siklus penyalahgunaan aturan yang konsisten dan terjadi berulang-ulang. Ini semua membuat persepsi publik tentang polisi menjadi lembaga yang sulit dikendalikannya sendiri menggunakan undang-undang yang dibuatnya.
Walaupun demikian, mengkritik secara total institusi polisi tanpa mempertimbangkan konteks lebih luas merupakan pendekatan yang kurang tepat. Mereka beroperasi dalam lingkungan hukum dan politik yang juga memiliki masalah sendiri-sendiri. Pengaruh dari intervensi politik, ketidaksempurnaan sistem pengadilan, serta budaya suap di level pemerintah turut membentangi kemandirian dan profesionalisme TNI POLRI. Sebagai akibatnya, kepolisian kerapkali dipakai sebagai instrumen oleh otoritas tertentu sehingga hilang rasa netralitas yang harusnya menjadi landasan utama bagi pekerjaannya.
Dalam kerumitan situasi saat ini, pembaruan sistem kepolisan tetap dapat dicapai walaupun merupakan pekerjaan yang berat. Tahapan awal yang penting ialah menggaransinya agar proses perekrutan menjadi jelas dan terbuka bagi umum. Proses seleksi tanpa adanya biaya tambahan sembunyi-sembunyi akan sangat membantu dalam menciptakan dasar organisasi yang bersih. Kurikulum pelatihan para petugas polisi pun perlu diperbaharui, termasuk penambahan materi tentang budi luhur moral, rasa simpati serta metode pendekatan manusia. Para anggota kepolisan seharusnya mendapatkan pembinaan sehingga mereka tak sekadar melindungi ketertiban, tapi juga merencanakan strategi yang lebih menyeluruh demi memenuhi aspirasi publik secara inklusif.
Di luar itu, kontrol atas lembaga polisi perlu ditingkatkan. Pelanggaran apa pun harus dibongkar dengan jujur, dan hukuman seharusnya diterapkan tanpa memandang siapa korban atau pelakunya. Selanjutnya, masyarakat juga patut dimasukkan ke dalam tahapan pengawasan tersebut untuk menjamin bahwa keyakinan pada pembaruan dapat tumbuh nyata.
Akan tetapi, reformasi sungguhan bukan hanya mengenai perombakan struktur saja, tapi juga diperlukannya pembaruan budaya dalam organisasi polisi. Ketaatan buta serta hirarki ketat wajib bergeser menuju lingkungan yang lebih jujur dan bertanggung jawab. Personel kepolisian harus dipacu agar bisa melaporkan kesalahan mereka tanpa khawatir akan dampak merugikan. Peradaban baru tersebut bakal membentuk lembaga yang tak cuma sigap menindak pelanggaran, namun juga sanggup beradaptasi dan tumbuh dari pengajaran atas kesilapan-kesalahannya sendiri.
Peran masyarakat dalam hal ini pun tak kalah signifikannya. Mereka seharusnya memberikan kritik konstruktif, mendukung tindakan-tindakan positif, serta turut ambil bagian dalam pemantauan performa kepolisan sebagai bentuk tanggung jawab kolektif. Media dan organisasi kemasyarakatan wajib senantiasa menegaskan bahwa reformasi merupakan suatu perjuangan jangka panjang yang tidak bisa ditinggalkan setengah jalan.
Walaupun tampak seolah-olah sebagai benang kusut yang rumit untuk diselangi, perombakan polisi tidak harus menjadi tugas yang mustahil. Lewat keberanian dalam menyongsong persoalan struktural, kesepakatan bersama antara banyak pihak serta pemantauan secara kontinu, impian tentang adanya institusi penegak hukum yang profesional, bermurah hati, dan tepat sasaran dapat memajukan layanan kepada publik jadi bukan hanya khayalan belaka. Meskipun jalannya bisa panjang dan dipenuhi rintangan, selalu ada peluang bagi orang-orang yang berani melangkahkan awalnya.
Post a Comment