MasRizky.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok Hamas akhirnya memberikan respons terhadap usulan "Rencana Trump", yang diberikan tepat di hari terakhir tenggat waktu yang ditetapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Rencana damai tersebut mencakup beberapa poin yang kontroversial, seperti pelucutan senjata dari Hamas, amnesti bagi para pejuang mereka, serta penempatan pasukan internasional di wilayah Gaza.
Namun, dalam respons awal yang beredar, Hamas hanya menyebut aspek kemanusiaan: penghentian perang, pertukaran tawanan, masuknya bantuan, rekonstruksi, dan opsi menyerahkan administrasi sipil Gaza kepada badan teknokrat independen Palestina dengan dukungan negara-negara Arab dan Islam. Fakta bahwa Hamas tidak menyebut sama sekali isu pelucutan senjata, amnesti, dan pasukan internasional—tiga isu yang menjadi fokus utama dalam proposal damai itu—menimbulkan banyak pertanyaan tentang makna di balik "diam" mereka.
Prioritas Kemanusiaan
Hamas tampaknya lebih memprioritaskan isu-isu yang paling mendesak bagi warga Gaza. Gencatan senjata, distribusi bantuan, dan rekonstruksi adalah tiga hal yang sangat dibutuhkan. Sejak Oktober 2023, Gaza mengalami kerusakan besar: puluhan ribu korban jiwa, blokade total, ancaman relokasi massal. Dengan menyuarakan hal ini, Hamas ingin menunjukkan bahwa mereka bukan hanya sebagai kelompok militer, tetapi juga aktor politik yang responsif terhadap krisis kemanusiaan.
Bagi Hamas, menerima gencatan senjata, arus bantuan, dan rekonstruksi adalah langkah rasional sekaligus populis. Hal ini memberi sinyal ke rakyat Gaza bahwa mereka bukan penghalang perdamaian, melainkan pihak yang peduli terhadap penderitaan warga.
Menghindari Kehilangan Legitimasi
Pelucutan senjata adalah salah satu isu yang sangat sensitif bagi Hamas. Jika mereka menyebutnya secara eksplisit, apalagi dalam kerangka penerimaan, itu bisa dipersepsikan sebagai pengakuan kekalahan. Isu pelucutan senjata adalah garis merah. Menyebutnya sama saja dengan mengakui Hamas sebagai pihak kalah perang. Dengan memilih diam, Hamas menjaga legitimasi di mata pendukungnya, sekaligus tetap memberi ruang diplomasi.
Pemisahan Sipil dan Militer
Dengan menawarkan opsi teknokrat untuk mengelola Gaza, Hamas mengirimkan sinyal kesiapan mengurangi keterlibatan dalam urusan sipil. Namun, absennya pembahasan mengenai sayap militer menunjukkan bahwa aspek pertahanan tetap mereka anggap sebagai domain yang tidak bisa dinegosiasikan. Dengan menyatakan kesediaan menyerahkan administrasi Gaza ke teknokrat independen, Hamas seolah berkata: urusan sipil bisa ditransfer, tetapi urusan militer tetap kami pegang. Model ini mirip pola Hizbullah di Lebanon.
Penolakan Implisit atas Amnesti dan Pasukan Internasional
Bagi Hamas, amnesti mengandung konotasi kriminalisasi terhadap para pejuang, sementara pasukan internasional kerap dipersepsikan sebagai bentuk pendudukan baru. Sikap diam terhadap dua isu ini dapat dibaca sebagai bentuk penolakan tidak langsung.
Strategi Negosiasi
Secara keseluruhan, sikap ini menunjukkan pola "selektif": menerima bagian-bagian yang menguntungkan secara kemanusiaan dan politis, sambil mengabaikan atau menolak secara implisit bagian yang berpotensi melemahkan posisi perlawanan. Sikap Hamas bisa dibaca sebagai taktik klasik: mengambil poin-poin yang bisa memperkuat posisi mereka (gencatan senjata, bantuan, teknokrat sipil), dan menolak secara diam-diam bagian beracun (pelucutan senjata, amnesti, pasukan internasional).
Penutup
Respons Hamas yang menekankan isu kemanusiaan, namun menghindari pembahasan pelucutan senjata, merefleksikan strategi politik dua arah: menjaga kredibilitas internasional sebagai pihak yang mau bernegosiasi, sekaligus mempertahankan legitimasi internal sebagai gerakan perlawanan. Dengan demikian, "diam" di sini bukanlah tanda penerimaan, melainkan bentuk penegasan posisi tanpa konfrontasi terbuka.
Kita akan melihat perkembangan lanjutan, bagaimana tanggapan para pihak terhadap jawaban Hamas atas "ultimatum Trump". Hari-hari ke depan akan semakin menarik untuk dicermati.
Jakarta, 4 Oktober 2025
Post a Comment