
Ombudsman RI Mendorong RUU Perampasan Aset Memasukkan Kerugian Masyarakat Akibat Korupsi
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyarankan agar dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset disertakan ketentuan eksplisit tentang bentuk-bentuk kerugian yang dialami masyarakat akibat korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya berfokus pada penyitaan aset, tetapi juga memberikan perlindungan dan pemulihan bagi masyarakat yang menjadi korban.
Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, menekankan bahwa korupsi bukanlah “kejahatan tanpa korban”. Menurutnya, praktik korupsi memiliki dampak nyata terhadap tidak terselenggaranya pemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak warga negara. Pelayanan publik yang berkualitas, kata Najih, merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara dan melekat dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM).
Dampak Korupsi pada Masyarakat
Ombudsman mengamati bahwa seringkali korupsi mulai dari kondisi malaadministrasi. Misalnya, ketika masyarakat tidak mendapatkan layanan yang seharusnya, hal ini kemudian membuka jalan bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan bentuk-bentuk kerugian yang timbul akibat tindakan tersebut.
Dalam wacana pembahasan RUU ini, Najih menyebutkan bahwa bentuk kerugian yang harus disebut antara lain kerugian materiil dan kerugian imateriil. Berikut adalah penjelasannya:
-
Kerugian materiil
Kerugian materiil dapat berupa kerugian ekonomi langsung kepada masyarakat. Contohnya adalah ketika anggaran pembangunan di daerah diselewengkan, fasilitas publik tidak dibangun atau dikurangi kualitasnya, atau dana masyarakat (melalui pajak) tidak digunakan untuk kepentingan publik. Hal ini secara langsung merugikan masyarakat dalam segi ekonomi dan kualitas hidup mereka. -
Kerugian imateriil
Kerugian imateriil mencakup kerugian non-ekonomi, seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara dan institusi publik, rusaknya reputasi penyelenggara negara, serta dampak psikologis terhadap warga yang merasa dirugikan secara moral. Kerugian ini lebih sulit diukur, tetapi sangat penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan.
Peran Komnas HAM dalam Penyusunan RUU
Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, turut memberikan perhatian bahwa korupsi telah "merampas" hak atas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, serta mengganggu kondisi kondusif bagi terlaksananya HAM. Ia menegaskan bahwa korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak fondasi dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ombudsman berharap agar RUU tidak hanya menjadi instrumen penyitaan aset semata, tetapi juga menjadi payung hukum yang menghargai dampak luas dari praktik korupsi terhadap masyarakat. Penekanan pada jenis kerugian masyarakat itu penting agar dalam proses hukum dan pemulihan aset, negara dapat mempertimbangkan restitusi, ganti rugi, dan pemulihan yang adil bagi warga yang menjadi korban praktik korupsi.
Keberlanjutan RUU Perampasan Aset
Dengan mencantumkan jenis kerugian materiil dan imateriil, RUU Perampasan Aset diharapkan lebih responsif terhadap kerugian publik dan memperkuat sisi keadilan dalam penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Hal ini akan memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak hanya bersifat represif, tetapi juga memiliki dimensi rehabilitatif dan restoratif.
Post a Comment