
Fenomena Utang Konsumtif di Kalangan Anak Muda
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, fenomena utang konsumtif kembali menjadi perhatian masyarakat. Program Filonomics di YouTube MasRizky membahas isu ini dalam episode terbaru berjudul “Ledakan Utang Paylater di Tengah Ekonomi Lesu”. Episode ini menyoroti pentingnya kesadaran finansial di kalangan generasi muda, terutama dalam menghadapi tren penggunaan layanan paylater.
Salah satu poin utama dari episode ini adalah peringatan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia memperingatkan anak muda agar tidak terjebak dalam utang hanya untuk gaya hidup atau belanja impulsif. Namun, data menunjukkan bahwa realitasnya berbeda. Total utang dari pinjaman online (pinjol) dan paylater di Indonesia kini telah mencapai angka Rp 100 triliun.
Perbandingan Pertumbuhan Paylater dan Kredit Bank
Data terbaru industri keuangan digital menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah utang. Pada Juli 2024, nilai utang pinjol tercatat sekitar Rp 69 triliun, dan kini naik menjadi Rp 84 triliun—sebuah pertumbuhan lebih dari 20 persen dalam setahun. Sementara itu, pertumbuhan paylater bahkan lebih cepat, dari Rp 25 triliun menjadi Rp 32 triliun, atau meningkat hampir 30 persen.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan kredit konsumsi di bank selama periode yang sama hanya sebesar 3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih memilih layanan keuangan instan yang mudah diakses dibandingkan kartu kredit. "Pengajuan paylater jauh lebih cepat dan tidak membutuhkan dokumen kompleks seperti slip gaji," ujar Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, dalam tayangan tersebut.
Penggunaan Paylater yang Menunjukkan Daya Beli yang Tertekan
Episode ini juga mengangkat sisi lain dari lonjakan utang. Direktur Riset CORE, Etika Karyani Suwondo, menyatakan bahwa peningkatan penggunaan paylater mencerminkan daya beli masyarakat yang tertekan. Banyak orang kini bukan hanya berutang untuk barang sekunder, tetapi juga untuk kebutuhan primer.
Data dari Pefindo menunjukkan bahwa jumlah debitur paylater pada Februari 2025 sudah mencapai 17 juta orang, dengan mayoritas dari kalangan milenial dan Gen Z. Paylater banyak digunakan untuk transaksi e-commerce, QRIS, hingga pembelian tiket dan hotel.
Di sisi lain, survei Bank Indonesia menunjukkan melemahnya kondisi keuangan rumah tangga. Pengeluaran untuk cicilan semakin besar, sementara belanja kebutuhan sehari-hari justru menurun.
Tren Serupa di Amerika Serikat
Filonomics tidak hanya fokus pada Indonesia, tetapi juga menyoroti tren serupa di Amerika Serikat. Nilai utang paylater di sana melesat dari USD 2 miliar pada 2019 menjadi USD 24 miliar pada 2021. Akses yang mudah dan cicilan tanpa biaya membuat paylater menjadi primadona bagi anak muda di sana.
Namun, kemudahan ini juga memunculkan kekhawatiran. Beberapa analis menyamakan gejala ini dengan awal mula krisis keuangan 2008, ketika bubble kredit perumahan pecah dan mengguncang sistem keuangan global.
Regulasi dan Edukasi untuk Mengurangi Risiko
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebut sedang menyiapkan aturan baru terkait paylater. Mulai 1 Januari 2027, penggunaan layanan ini hanya diperbolehkan bagi masyarakat berusia minimal 18 tahun dengan pendapatan minimal Rp 3 juta per bulan.
Selain regulasi, pemain industri seperti Akulaku juga disebut melakukan edukasi dan penyaringan nasabah berdasarkan perilaku konsumsi untuk menekan risiko gagal bayar.
Pertanyaan Besar: Solusi atau Jebakan?
Di akhir episode, Filonomics mengajak penonton merenung apakah ledakan utang paylater ini sekadar cerminan gaya hidup konsumtif, atau justru tanda rapuhnya ekonomi rumah tangga di tengah kondisi makro yang lesu?
“Paylater bisa jadi solusi jangka pendek, tapi kalau tak dikelola dengan bijak justru menjadi jebakan utang,” demikian salah satu pesan utama yang diangkat.
Episode Filonomics: “Ledakan Utang Paylater di Tengah Ekonomi Lesu” sudah tayang dan bisa ditonton di kanal YouTube MasRizky, menghadirkan data, analisis, dan pandangan para pakar.
Post a Comment