SEMARANG, masrizky.biz.id– Perempuan dan anak yang aktif dalam aktivisme, Kalis Mardiasih, menyampaikan bahwa isu kesehatan reproduksi wanita di Indonesia masih dianggap sebagai topik yang tidak pantas dibicarakan.

Ini membuat banyak perempuan enggan melakukan pemeriksaan kesehatan meskipun mengidap penyakit yang parah.

Di Provinsi Jawa Tengah, terdapat sebanyak 2.515 perempuan yang mengidap kanker serviks sepanjang tahun 2024.

Nomor ini mengacu pada jumlah pasien yang tercatat di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang berada di bawah naungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah.

Secara nasional, Kementerian Kesehatan memperkirakan lebih dari 36.000 kasus baru yang ditemukan setiap tahun.

Sayangnya, sekitar 70 persen dari kasus tersebut hanya terdeteksi pada tahap akhir, yang membuat risiko kematian meningkat secara signifikan.

Secara umum, isu terkait fungsi dan kesehatan reproduksi perempuan dianggap sebagai hal yang pribadi dan tidak boleh dibicarakan. Contohnya, sejak kecil perempuan diajarkan untuk menyembunyikan segala sesuatu, cara berjalan harus sopan, bicara tidak boleh keras, serta harus berada di rumah. Ini merupakan simbol bahwa perempuan harus tertutup dan tidak berani bersuara," ujar Kalis setelah mengisi sesi pelatihan di Semarang pada hari Minggu (24/8/2025).

Kalis berpendapat bahwa pembentukan budaya yang mengajarkan perempuan untuk menyembunyikan diri sejak kecil turut menyebabkan isu menstruasi serta pemeriksaan organ reproduksi dianggap memalukan.

"Menstruasi merupakan siklus biologis, namun dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan. Membeli pembalut harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Terlebih lagi, menunjukkan alat kelamin kepada tenaga kesehatan saat sakit dianggap memalukan. Bahkan ada yang lebih memilih mati daripada menghadapi stigma ini," katanya.

Kalis menekankan bahwa akar dari masalah ini berada pada kurangnya pendidikan seksual yang menyeluruh di Indonesia.

Ia berpendapat bahwa pengajaran tentang seks sebaiknya dimulai dari usia dini, baik di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah.

Menurutnya, anak-anak bisa diajarkan mengenai organ tubuh, fungsi masing-masing, cara menjaga kebersihan, serta keselamatan sejak berusia TK.

Namun, materi mengenai organ reproduksi belum dijelaskan secara langsung.

"Tetapi kurikulum kita masih kurang memadai. Dulu pernah ada gambar anatomi alat kelamin dalam buku biologi yang disensor. Guru sering tidak menyebutkan vagina, vulva, atau penis karena dianggap tidak sopan. Sikap pikirnya masih salah," katanya.

Ia memberikan contoh pengalamannya saat di sekolah menengah, ketika pendidikan seks hanya berupa seminar yang diadakan sekali seumur hidup.

"Itu juga membahas penyakit menular seksual dengan gambar-gambar penis yang bernanah, berdarah, dan kencing nanah. Padahal pendidikan seks tidak hanya tentang itu, tetapi juga mengenal tubuh, citra tubuh, rasa aman, hingga kemampuan menolak pelecehan," tegas Kalis.

Stigma sosial memperburuk

Selanjutnya, Kalis menekankan bahwa prasangka masyarakat juga memperparah situasi perempuan, khususnya dalam kasus kanker serviks atau HIV/AIDS yang sering dikaitkan dengan pergaulan bebas.

"Padahal banyak ibu rumah tangga tertular HPV dari pasangannya. Namun, karena adanya prasangka yang kuat, mereka merasa malu untuk melakukan pemeriksaan," katanya.

Kalis menyebutkan bahwa isu kesehatan reproduksi wanita bersifat rumit dan memerlukan kolaborasi lintas sektor.

Ia menekankan bahwa isu ini bukan hanya tanggung jawab dari Kementerian Kesehatan.

"Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) dapat mengambil peran dalam isu pernikahan dini dan pelecehan seksual yang turut menjadi salah satu faktor penyebab kanker serviks, serta Kementerian Hukum dan HAM karena masalah ini berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk mendapatkan akses layanan kesehatan," lanjutnya.

Ia juga menekankan peran penting tokoh agama dalam kampanye kesehatan reproduksi, seperti mendorong pemeriksaan IVA dan tes DNA HPV yang tersedia secara gratis di Puskesmas.

"Tokoh agama di masyarakat kita sangat dihormati, misalnya saat pandemi Covid-19, para ulama menjadi yang pertama divaksin agar meyakinkan masyarakat bahwa vaksin ini halal dan diperlukan," katanya.

Mengenai akses vaksin HPV yang tergolong mahal, mencapai sekitar Rp9 juta, Kalis berharap pemerintah hadir dalam memberikan bantuan bagi perempuan melalui sistem subsidi.

Menurutnya, tanpa adanya perubahan dalam budaya dan kebijakan, wanita akan terus menghadapi ancaman kesehatan reproduksi yang berat, sementara stigma membuat mereka memilih untuk tidak berkata apa-apa dan menanggung masalah tersebut sendirian.

Post a Comment

Previous Post Next Post