masrizky.biz.id.CO.ID, JAKARTA --Presiden Prabowo Subianto dalam pidatinya di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada 20 Juli 2025 memperkenalkan istilah baru kepada masyarakat,SerakahnomicsFrasa ini digunakan untuk mengkritik tindakan ekonomi yang tidak jujur dilakukan oleh sejumlah pihak pengusaha dan tokoh ekonomi. “Jadi, ternyata kita menghadapi fenomena baru. Saya kira mazhabnya dulu adalah mazhab ini, mazhab itu. Kini muncul mazhab baru dalam ekonomi yang saya sebutSerakahnomics," kata Prabowo dalam pidatinya yang disiarkan langsung.

Istilah ini tidak muncul begitu saja. Ia mencerminkan kekhawatiran bersama yang telah lama dirasakan oleh masyarakat—terkait pertumbuhan ekonomi yang terlihat di permukaan, namun justru meninggalkan sebagian besar rakyat di belakang. Mengenai kesejahteraan yang menumpuk di atas, tetapi tidak pernah sampai ke bawah. Ketika kesempatan ekonomi dihambat oleh kelompok tertentu, yang semestinya menjadi alat untuk kesejahteraan bersama justru berubah menjadi sarana akumulasi kekayaan oleh segelintir orang. Maka,Serakahnomicsbukan hanya sekadar kata; itu merupakan kritikan tajam terhadap sistem ekonomi yang telah kehilangan rasa kemanusiaan, moral, dan tujuan.

Dalam perspektif ekonomi Islam, Serakahnomicsbukan hanya bentuk penyimpangan teknokratis, tetapi juga peringatan spiritual dan moral. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai pokok dalam bertransaksi telah dikorbankan demi akumulasi modal yang tidak bermoral. Ketika pertumbuhan dianggap sebagai tuhan baru, sementara keadilan diabaikan; ketika angka-angka ekonomi dipuji, namun kesejahteraan rakyat dikesampingkan; maka yang terjadi adalah kerusakan sistemik. Dalam Al-Qur'an, keadaan seperti ini disebutfasād fīl-ardh—kerusakan di muka bumi.

Islam tidak membenci kekayaan, juga tidak melarang kepemilikan. Namun Islam menetapkan batasan dan tanggung jawab etis terhadap setiap harta yang diperoleh. QS Al-Hadid ayat 7 menyatakan bahwa harta hanya merupakan titipan: “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta belanjakanlah sebagian dari apa yang Dia (titipkan kepadamu dan) telah memberimu wewenang untuk menggunakannya…”. Artinya, harta bukan milik mutlak, tetapi sebagai amanah yang harus digunakan sesuai prinsip keadilan dan manfaat sosial.

Keserakahan atau tama’dalam tradisi Islam, bukan hanya sifat buruk yang dilarang, tetapi juga masalah struktural yang mampu membawa seluruh sistem ekonomi ke dalam ketidakadilan. Ketika seseorang atau perusahaan terus-menerus mengumpulkan kekayaan tanpa batas, menolak untuk berbagi, menindas yang lemah, memonopoli sumber daya, atau memanipulasi harga demi keuntungan pribadi, maka tindakan tersebut tidak hanya merupakan dosa individu—tetapi juga menciptakan sistem yang merusak keadilan sosial. Inilah yang dimaksudSerakahnomics, sistem yang menjadikan ambisi sebagai dasar dalam operasional ekonomi. Ia merupakan lawan dariqana’ah (rasa cukup), ’adl (keadilan), dan ukhuwwah(kerjasama)—nilai-nilai pokok dalam ekonomi Islam.

Kemudian, kapan suatu tindakan ekonomi dapat dikatakan sebagai perbuatan serakah? Pertanyaan ini penting agar masyarakat dan pelaku bisnis tidak terjebak dalam perilaku yang secara tidak sadar memperpanjang sistem serakah tersebut. Dalam ajaran Islam, mencari harta bukan dilarang selama dilakukan dengan cara yang halal, digunakan secara wajar, dan diiringi semangat berbagi melalui wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Namun, disebut serakah jika tujuannya hanya mengumpulkan tanpa batas, menggunakan metode yang tidak sah, menolak tanggung jawab sosial, serta memanfaatkan sesama manusia dan lingkungan secara eksploitatif.

Masalah utamanya, SerakahnomicsHari ini bukan lagi sekadar tentang tindakan pribadi, melainkan telah menjadi sistem yang terstruktur. Ia muncul dengan alasan regulasi, dibalut dengan legalitas, tetapi intinya adalah pengkhianatan terhadap keadilan ekonomi. Monopoli dalam rantai distribusi, konsentrasi lahan oleh sejumlah kecil pemodal, bunga yang sangat tinggi di lembaga keuangan, serta spekulasi di pasar modal—semua hal ini menciptakan ruang bagi ekonomi yang tidak memiliki hati nurani.

Saatnya kita menyadari bahwa di luar aturan, terdapat etika. Aturan bisa dihindari oleh pihak tertentu, namun etika merupakan pedoman moral yang tidak bisa ditipu. Etika dalam Islam berasal dari wahyu, berakar pada fitrah manusia, dan menghasilkan keadilan sebagai tujuan akhirnya. Maka sudah saatnya kita menciptakan sistem yang aman secara syariah, aman secara etika dan regulasi, serta aman bagi NKRI—yaitu ekonomi yang sesuai dengan nilai agama, etika, dan tidak bertentangan dengan hukum negara, serta menjamin kelangsungan dan stabilitas bangsa.

Islam telah memberikan solusi yang terstruktur. Zakat, infak, dan wakaf bukan hanya alat bantuan sosial, tetapi sistem pengelolaan kekayaan yang ditetapkan oleh Allah untuk menjaga keseimbangan. Dalam sejarah Islam, zakat mampu menghilangkan kemiskinan struktural ketika diterapkan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, larangan riba menjadi benteng utama terhadap penindasan ekonomi. Sistem Islam menggantinya dengan model kerja sama—mudharabah dan musyarakah—yang adil, jujur, dan beradab.

Islam juga menjadikan negara sebagairā‘in—pelayan dan pelindung rakyat. Negara tidak boleh tetap netral dalam hal dominasi ekonomi. Ia perlu secara aktif mengatur pembagian lahan, tanah, menjaga ketersediaan air, makanan, dan energi, ruang udara, serta melindungi lingkungan hidup rakyat dari kekuatan pasar yang tidak terkendali. Dalam sistem ekonomi Islam,baitul malbukan hanya sekadar kekayaan negara, tetapi juga alat kesejahteraan bersama yang harus diatur secara profesional dan jujur.

Namun segala hal itu akan percuma jika budaya keserakahan tetap dianggap sebagai kemampuan bisnis. Kita membutuhkan perubahan kesadaran. Pelaku bisnis harus menjadikan etika sebagai dasar, bukan hanya sebagai strategi pemasaran. Keuntungan tidak boleh menjadi satu-satunya tujuan. Berkah dan manfaat sosial harus menjadi ukuran keberhasilan yang sebenarnya. Masyarakat juga perlu diajarkan bahwa keberhasilan bukan hanya tentang kekayaan pribadi, melainkan tentang kontribusi nyata bagi masyarakat dan bangsa.

Kita tidak boleh terus membenarkan aksi ambisi yang berlebihan. Ketika petani menderita akibat penipuan harga, nelayan dijebak oleh para perantara, ketika pedagang menyembunyikan barang untuk memperoleh keuntungan saat krisis, atau ketika ruang hidup warga diubah menjadi kawasan elit oleh pengembang yang serakah—itu adalah bentuk nyata dari hal tersebut.Serakahnomics yang harus kita lawan.

Perubahan memang tidak terjadi secara cepat. Namun, arahnya dapat ditentukan sejak saat ini. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen untuk "mengembalikan ekonomi kepada rakyat secara adil", maka langkah yang paling tulus adalah memberikan ruang yang luas bagi prinsip ekonomi Islam dalam kebijakan publik—bukan hanya sekadar simbolis, tetapi benar-benar nyata: reformasi fiskal, penguatan koperasi syariah, pengelolaan wakaf yang produktif, serta penerapan etika bisnis di seluruh sektor.

Sebagai seorang ekonom Islam, saya percaya bahwa bangsa ini memiliki seluruh sumber daya—alam, manusia, dan spiritual—untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menyatakan dengan tegas, cukup sudah ambisi yang berlebihan, saatnya tiba untuk keadilan.

Ekonomi Islam bukanlah khayalan. Ia merupakan jalur tengah antara kebebasan dan tanggung jawab, antara kepemilikan dan distribusi, serta antara pertumbuhan dan kesetaraan. Ia bukan hanya pilihan alternatif, namun merupakan kebutuhan. Semakin cepat kita menyadari hal ini, semakin besar kesempatan kita untuk menciptakan Indonesia yang makmur, berharga, dan diberkati oleh Allah.

Post a Comment

Previous Post Next Post