
Oleh: Ernestus Holivil
Dosen dari Universitas Nusa Cendana di Kupang - Nusa Tenggara Timur
masrizky.biz.idKita sering membahas tentang perkembangan, namun jarang benar-benar memperhatikan ke mana arah tindakan yang diambil.
Sejauh ini, pembangunan selalu difokuskan pada kota-kota besar dan pusat-pusat industri.
Sementara desa-desa yang menjadi dasar budaya dan sumber bahan baku utama seringkali dibiarkan bergerak lambat dalam alur sejarah.
Banyak inisiatif muncul dari niat tulus, namun banyak juga yang terhenti di tengah jalan. Permasalahannya terletak pada kurangnya pemahaman dalam pendekatan pembangunan.
Alih-alih melepaskan desa dari keterbelakangan, banyak inisiatif justru menguncinya dalam pameran citra tanpa dasar struktural.
Di tengah ketidakpastian, Program One Village One Product (OVOP) di NTT setidaknya memberikan semangat baru.
Ide ini menawarkan arah yang baru: dari pinggiran, desa memainkan peran utama. Desa menjadi pusat inovasi dan penggerak ekonomi wilayah.
Saya secara pribadi menghargai program ini. Namun perlu diingat, yang paling utama bukanlah apakah program tersebut tersedia, tetapi bagaimana program tersebut dilaksanakan dan kepada siapa manfaatnya.
Apakah OVOP benar-benar mendorong desa menjadi pelaku utama dalam perekonomian lokal, atau hanya menjadikan mereka sebagai contoh menarik untuk dinikmati oleh pasar perkotaan?
Bangun Ekonomi dari Pinggiran
Tentu, membangun dari luar bukanlah pekerjaan yang mudah. Desa-desa di NTT masih menghadapi berbagai tantangan.
Dimulai dari infrastruktur yang minim, akses pasar yang terbatas, hingga modal yang sangat terbatas.
Isu-isu ini menjadikan desa tetap tertinggal dalam arus utama pembangunan nasional.
OVOP, dalam konteks tersebut, dihadapkan pada tugas untuk mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang rumit ini.
Tidak dapat dipungkiri, masalah utama yang selama ini kita hadapi adalah ketidakberlanjutan struktural.
Desa memiliki produk, namun tidak memiliki pasar; memiliki kearifan, tetapi tidak memiliki kemasan; memiliki semangat, tetapi tidak memiliki jaringan.
OVOP muncul sebagai solusi yang menghubungkan ketidaklengkapan tersebut melalui pendekatan menyeluruh yang menggabungkan potensi, identitas, dan strategi pemasaran dalam satu ekosistem.
Ini adalah gerakan ekonomi yang secara bersamaan menempatkan desa sejajar dalam narasi pembangunan.
Jika kita ingin belajar dari cara terbaik, maka Jepang menjadi contoh yang tidak mungkin diabaikan.
OVOP pertama kali diusulkan oleh Gubernur Morihiko Hiramatsu di Prefektur Oita pada tahun 1979.
Dasar dari prinsip ini sederhana tetapi inovatif: satu desa, satu produk khas, yang berlandaskan sumber daya setempat dan memiliki kompetitivitas di tingkat global.
Hasilnya nyata. Dari produk seperti miso Yufuin, sake Oita, hingga kerajinan bambu Beppu kini tidak hanya menjadi simbol daerah, tetapi juga barang ekspor yang bernilai jutaan dolar.
Kunci keberhasilannya terletak pada konsistensi kebijakan, dukungan pelatihan, serta penguatan narasi budaya sebagai nilai unggulan.
NTT memang berbeda dengan Oita. Namun hal itu tidak berarti tidak mungkin untuk meniru keberhasilannya. Yang diperlukan adalah keberanian dalam mengembangkan OVOP sebagai gerakan ekonomi yang terkait dengan budaya dan identitas.
Seperti di Jepang, barang-barang OVOP di NTT tidak hanya dianggap sebagai barang dagangan, tetapi juga sebagai kisah. Mengenai tanah, tradisi, dan masyarakat.
Kita dapat membayangkan masa depan kopi Bajawa, pinang Rote, atau kerajinan tangan Flores menjadi simbol yang dikenal di seluruh Indonesia hingga tingkat internasional.
Bukan karena iklan yang besar atau modal asing, melainkan karena ceritanya yang asli dan desa sebagai latar tempatnya.
Maknanya, OVOP tidak hanya membuka jalur untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemulihan budaya dan identitas. Jepang telah menunjukkan hal tersebut. NTT sedang memulai langkahnya.
Kemajuan kita, mengutip Amartya Sen, harus berfokus pada pemberdayaan (development as empowerment).
Intinya bukan hanya memburu pertumbuhan angka ekonomi, tetapi memberikan kesempatan kepada komunitas untuk berkembang dengan cara masing-masing, sesuai dengan nilai, kearifan, dan kemampuan yang mereka miliki.
Dan OVOP, jika diterapkan dengan prinsip ini, desa dapat terbebas dari keterbelakangan, sekaligus membangkitkan semangat inovasi setempat.
Oleh karena itu, 44 produk yang diperkenalkan oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, perlu didirikan berdasarkan karakter, budaya, dan identitas masing-masing desa.
Pemikiran OVOP di NTT, menurut saya, bukan hanya sebuah proyek pengembangan produk lokal. Lebih dari itu, program ini merupakan wujud keberanian dalam memulai pembangunan dengan pendekatan yang berbeda.
Jika sebelumnya desa hanya menjadi penonton, kini melalui OVOP, panggung tersebut perlahan berubah. Desa menjadi pusat ide, sumber produksi, serta simbol penguatan ekonomi lokal.
Tantangannya memang tidak mudah. Diperlukan konsistensi antara pelatihan, pendampingan, pemasaran, serta kebijakan nyata.
Jika Jepang mampu menciptakan kekuatan internasional melalui produk-produk yang dianggap biasa, maka Indonesia juga mampu melakukan hal yang sama.
Bahkan harus demikian. Dan inilah tempat NTT telah melakukan langkah awal yang tepat, sebuah tindakan yang perlu dipertahankan dan diperkuat.
Perkuat Narasi Indentitas
Untuk memperkuat gerakan OVOP, diperlukan sistem kerja sama yang baik. Cerita, identitas, dan riwayat desa harus menjadi fondasi utama dalam menciptakan merek produk lokal.
Ini bukan hanya tentang pemasaran, tetapi juga merupakan pendekatan baru dalam memandang desa, bukan sebagai objek produksi, melainkan sebagai subjek budaya yang memiliki nilai.
Sejauh ini, yang sering kali diabaikan adalah kekuatan simbolis dari asal usul produk tersebut.
Saat cerita desa diangkat dan disusun secara bersama, maka produk tidak hanya dibeli karena penampilannya, tetapi juga karena maknanya.
Sistem cerita ini perlu melibatkan tiga pihak utama: masyarakat desa yang bertindak sebagai penjaga ingatan bersama, para ilmuwan sebagai pengubah makna identitas, serta pemerintah sebagai pengatur ruang-ruang interaksi antar pihak.
Melalui keterlibatan ini, desa tidak hanya menghasilkan barang, tetapi juga menciptakan bahasa serta nilai-nilai yang memperkuat posisi mereka di pasar.
Misalnya, tidak hanya menjual kopi dari Bajawa, tetapi juga menceritakan proses penanaman kopi dalam upacara adat, pemanenan secara bersama-sama, serta pengroblongan oleh generasi yang mempertahankan cita rasa dan kearifan tradisional.
Berikut adalah beberapa variasi dari kalimat tersebut: 1. Inilah yang menjadikan produk lokal tidak bisa digantikan oleh perusahaan besar: ia lahir dari lokasi, waktu, dan komunitas yang asli. 2. Yang membuat produk lokal tetap istimewa dibandingkan produsen besar adalah karena lahir dari lingkungan, masa, dan masyarakat yang autentik. 3. Hal ini yang menyebabkan produk lokal tidak dapat tergantikan oleh perusahaan besar: ia berasal dari tempat, waktu, dan komunitas yang asli. 4. Produk lokal tak tergantikan oleh pabrikan besar karena lahir dari kondisi setempat, situasi tertentu, dan komunitas yang otentik. 5. Alasan produk lokal tetap unik dibandingkan produsen besar adalah karena mereka lahir dari lingkungan, masa, dan masyarakat yang asli.
Jika pemerintah daerah benar-benar menginginkan OVOP bertahan lama dan memberikan dampak yang luas, maka menciptakan sistem narasi desa harus menjadi dasar utama.
Karena hanya melalui kisah yang hidup dan saling terkait, desa dapat berdiri setara dengan pasar. Bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai pemilik panggung. (*)
Simak terus berita masrizky.biz.iddiGoogle News
Post a Comment