
HARI-Hari ini aku mengingatmu, Bung. Ya, kau yang sering dipanggil "Bung Kecil" karena tubuhmu yang mungil, tapi kau memiliki pikiran yang luar biasa besar.
Saat negara kita merayakan hari ulang tahun yang ke-80, anggota legislatif justru diberi fasilitas berupa tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta setiap bulan.
Ditambah gaji pokok serta berbagai jenis tunjangan; mulai dari tunjangan untuk istri/suami, anak, beras hingga pajak penghasilan (PPH), seorang anggota DPR dalam sebulan bisa menerima lebih dari Rp 100 juta.
Astaga ini. Berbeda dengan nasib PNS, guru, dosen, pekerja hingga prajurit TNI dan anggota polisi.
Presiden Prabowo Subianto bersikap ramah dalam memenuhi keinginan anggota DPR dari delapan partai politik yang secara keseluruhan (100 persen) mendukung pemerintahannya.
Rakyat di negara kita lebih makmur, namun belum merata. Kemiskinan, pengangguran hingga ketidaksetaraan sosial masih sering ditemui.
Kakak, kau pasti merasa tidak tenang melihat data ini. Pendapatan per kapita penduduk di negara kita mendekati 5.000 dolar AS, tepatnya Rp 78,62 juta.
Namun, yang menonjol Bung, sebanyak 60 keluarga menguasai hampir separuh dari 55,9 juta hektar lahan. Sangat tidak seimbang dan tidak adil. Negara ini masih sangat jauh dari mencapai cita-cita yang tercantum dalam konstitusi.
Itulah. Nasib rakyat dan perwakilnya di lembaga legislatif seperti langit dan bumi, sangat jauh berbeda.
Tunjangan rumah bagi anggota DPR hingga Rp 50 juta setiap bulan tampaknya menunjukkan kurangnya empati terhadap kondisi masyarakat umum.
Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani memperlakukan anggota legislatif dengan baik, namun tega mengurangi dana transfer ke daerah (TKD) yang memicu demonstrasi di Pati dan Bone.
Nilainya mencapai Rp 269 triliun, naik lima kali lipat dibandingkan pemangkasan pada tahun 2025. Akibatnya, 104 daerah di seluruh negeri meningkatkan tarif pajak bumi dan bangunan. Masyarakat yang sudah kesulitan secara ekonomi semakin mengalami penderitaan.
Jenis demokrasi apa ini, Bung? Eksekutif berjalan tanpa adanya partai politik yang bertindak sebagai oposisi di lembaga legislatif?
Saat kau masih kuat, negara kita menerapkan demokrasi parlementer, kemudian berubah menjadi demokrasi terpimpin setelah "Bung Besar" Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959.
Kurang dari tiga tahun sebelumnya, temanmu di Perhimpunan Indonesia, Mohammad Hatta mengundurkan diri dari posisi wakil presiden pada 1 Desember 1956.
Hanya sebelas tahun, Soekarno-Hatta memimpin Indonesia. Hatta mengundurkan diri karena tidak sejalan lagi dengan Soekarno.
Indonesia juga terjebak dalam pemerintahan otoriter. Tidak ada pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan presiden-wakil presiden sejak tahun 1956 hingga 1971.
Aku mengingatmu, terutama ketika kau telah dijauhkan dari panggung utama republik.
Kak, aku bisa merasakan luka yang menembus hingga tulang-tulangmu. Juga luka yang menyebar ke seluruh orang-orang di sekitarmu: Siti Wahjunah, Soedjatmoko, dan dua anakmu—Kriya Arsyah (Buyung) dan Siti Rabyah Parvati (Upik).
Saat kau ditahan di Pusat Penahanan Militer di Jalan Budi Utomo Jakarta, kau tinggal di ruangan sempit dan basah.
Pada malam bulan Februari 1965, kau jatuh di lantai kamar mandi. Seharian kau berusaha menahan rasa sakit. Matahari terbit, kau dibawa ke rumah sakit.
Pernah menjalani operasi, tetapi setelah bangun kau tidak pernah lagi mampu berbicara. Stroke yang kau alami terlalu parah. Sejak saat itu kau kehilangan kemampuan mengendalikan tubuhmu.
Ibu Poppy, istrimu kemudian meminta izin pemerintah untuk mengobatimu di luar negeri. Pernah terpikir untuk pergi ke Belanda. Karena dilarang berkunjung ke negara bunga tulip tersebut, nasib membawamu ke Zurich, Swiss. Meski sedang sakit, kau tetap menjadi tahanan politik pemerintah yang berkuasa.
Bung menjadi tahanan politik setelah dituduh sedang merencanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Kau ditahan bersama sejumlah tokoh pada tahun 1962.
Kedipkan mata dan gerakkan tubuhmu, lalu ganti perkataanmu dengan bahasa yang lebih tajam. Kau yang dahulu ahli dalam medan diplomasi, kini terjebak dalam tirani kekuasaan dan rasa sakit yang menggelegar.
Itu adalah jalan terakhir yang mungkin tak pernah kamu bayangkan, Bang—seperti juga gagalnya kamu kembali ke Belanda untuk melanjutkan studi hukum di Amsterdam pada tahun 1933.
Belanda menerapkan peraturan ketat terhadap aktivis PNI Pendidikan. Kau dikirim ke Boven Digul sekitar Januari 1935.
Kemudian dipindahkan ke Banda Neira hingga Jepang datang menghancurkan perusahaan Belanda. Di dua tempat pembuangan tersebut kau bersama sahabat sejatimu: Mohammad Hatta!
Jika kemenakanmu, Chairil Anwar, tidak meninggal muda, mungkin apa yang akan dihasilkannya dalam baris-baris puisinya.
Mungkin dia akan berteriak—atau bahkan melawan dengan keras. Sejak awal Chairil menggambarkan kamu dalam puisinya "Krawang-Bekasi".
Kenang, kenanglah kami.
Teruskan, teruskan jiwa kami.
Mempertahankan Bung Karno, Mempertahankan Bung Hatta, Mempertahankan Bung Sjahrir.
Kami sekarang mayat.
Berikan kami makna. Tetaplah menjaga batas antara pernyataan dan mimpi.
Chairil ingin menyampaikan kepada bangsanya bahwa Soekarno, Hatta, dan Sjahrir merupakan tiga tokoh utama.
Kepada Soekarno, penyair Bohemian itu menyusun "Persetujuan dengan Bung Karno".
Mari! Bung Karno berikan tangan, ayo kita buat kesepakatan.
Saya sudah lama mendengar perkataanmu
dipanggang atas apimu
digarami oleh lautmu.
Pernyataan Bung Karno sangat melekat dalam hati rakyat, termasuk bagi seorang Chairil. Banyak kasih sayang Chairil berakhir di usia muda—setelah menyelesaikan dua puisi sebelum tahun 1948.
Belum berusia 23 tahun, Chairil meninggal pada 28 April 1949—setahun setelah dua puisi yang menunjukkan kedalaman dan keintimannya "mengawasi" tiga tokoh pendiri Indonesia.
Kakak, persaingan untuk menguasai kekuasaan memang wajar dalam dunia politik. Kau berada di barisan terdepan antara tahun 1945 hingga 1949. Jabatan perdana menteri/menteri luar negeri hingga menjadi penasihat presiden, kau kuasai.
Bung Hatta pernah menjabat sebagai wakil presiden serta perdana menteri Republik Indonesia Serikat. Sementara itu, Bung Karno terus-menerus menjadi kepala negara (presiden), mungkin bersifat eksekutif namun bersifat simbolis—setidaknya begitu pandangan wartawan empat generasi yang telah meninggal dunia, Rosihan Anwar.
Rosihan menuliskannya dalam buku yang diterbitkan untuk memperingati 100 tahun kelahiranmu. Sekarang, jika mengingat hari lahirmu, kami memperingati 116 tahunmu, Bung.
Kakak, kamu tahu bahwa politik bukanlah misi utama atau tujuan utamamu. Politik mengajakmu karena bangsa ini membutuhkan keahlianmu untuk membawa rakyat keluar dari kesulitan mereka.
Maka terimalah dengan tulus, ketika Belanda mengasingkanmu ke Digul dan Banda Neira. Dikabarkan bahwa kesengsaraan rakyat semakin memperdalam cintamu kepada tanah air ini.
Sedangkan kekuasaan adalah sejarah kemenangan dan kekalahan yang lebih sering ditentukan oleh angka statistik, terkadang sedikit trik. Benar, bukan?
Kak, kau benar-benar berani dan menonjol sebagai seorang pria. Kau berhasil memperoleh cinta wanita hingga akhirnya tinggal bersama dalam ikatan pernikahan.
Maria Johanna Duchateau kau 'ambil' dari Solomon Tas, sahabatmu. Di rumah Tas, cinta berkembang antara Bung dan Maria. Panggilan sayangmu pada perempuan keturunan Belanda-Perancis itu adalah Mieske.
Saat Bung kembali ke Tanah Air pada tahun 1932 untuk mempersiapkan PNI Pendidikan, Maria ikut bersamamu. Celaka, pihak kolonial Belanda turut campur—bahkan dalam urusan cintamu.
Singkatnya, Belanda mengirimkan Maria kembali ke negeri yang dikenal dengan kincir anginnya. Meskipun demikian, kamu tidak kehilangan Maria sepenuhnya. Justru surat-menyurat dengan Maria dari tempat pembuangannya memberimu kekuatan. Mungkin juga menjadi alasan untuk terus hidup.
Setelah terlempar dari lingkungan kekuasaan atau tidak lagi berada dalam pemerintahan, kau melakukan perjalanan ke Eropa dengan tujuan utama untuk mendekati pujaan hatimu Siti Wahjunah.
Perempuan ini sudah sangat dekat dan melekat kuat dalam hatimu. Ia pernah membantu tugas-tugas administrasimu. Kau terpikat, sehingga di depan adiknya, Soedjatmoko, kau
menikahi Siti Wahjunah di Mesir, tahun 1951.
Aku pasti menjadi sumber inspirasi bagi penyair Sutan Takdir Alisjahbana dalam menulis novel “Grotta Azzura”.
Buku ini menceritakan perjalanan seorang sosialis menuju Eropa. Tokoh utamanya adalah seorang Indonesia bernama Ahmad. Ia seorang aktivis sosialis yang jatuh cinta pada seorang wanita Prancis, Janet.
Dua kekasih itu kemudian mengunjungi tempat-tempat wisata menarik di Italia. Itu adalah dunia fiksi STA di mana Ahmad "bertukar tempat" dengan kamu di dunia nyata.
Apa perihalnya? Dalam kehidupan nyata, Bung dan Poppy yang melakukan bulan madu ke Italia. Mengunjungi Pulau Capri, kota Florence, dan Venesia.
Setelah meraih kejayaan pada masa muda, kau mengalami penderitaan di akhir hidup. Dalam tahanan politik, kau meninggal dunia di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966.
Dokter di sana tidak lagi bisa memberikan bantuan setelah kamu mengalami koma selama tujuh hari. Karena jarak yang sangat jauh dari Tanah Air, kamu baru bisa dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, sepuluh hari setelahnya.
Siapa tahu ucapan itu hanya sekadar basa-basi atau benar-benar tulus karena melihat jasamu dan pengabdiannya bagi tanah air, maka pemimpin memberimu gelar pahlawan melalui sebuah dekrit.
Dengan sedih, Bung Hatta berkata di depan makammu. "Sjahrir yang memiliki cita-cita besar dalam hatinya, hidupnya hanya berjuang, menderita, dan berkorban agar rakyat Indonesia merdeka dari segala penindasan. Ia berjuang untuk Indonesia Merdeka, miskin dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membangun Indonesia Merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka".
Kemudian Hatta melanjutkan, "Penghormatan besar yang diberikan dalam upacara ini serta simpati dari ribuan orang yang mengikuti pemakaman Sjahrir secara dekat maupun jauh dengan penuh kekhusukan, semoga menjadi obat bagi luka. Setelah rasa sedih dan rindu, anak-anak dan keturunan Sjahrir dapat merasa bangga karena mereka adalah keturunan seorang pahlawan."
Kakak, riwayat hidup dan perjuanganmu dalam membantu Republik berakhir dengan kejadian yang penuh kontradiksi. Benar apa yang dikatakan seseorang yang dekat denganku, TB Simatupang, "Tragedi dan kebesaran memang bersinggungan dalam hidupmu".
Namun, meminjam saudaramu, Chairil Anwar, agar peranmu terdengar dan bermakna, yang dapat kami lakukan saat ini adalah tetap berjaga di batas pernyataan dan harapan.
Kakak, tahun ini negara yang dulu kau asuh ini berusia 80 tahun. Jauh lebih muda dibandingkan kau yang lahir pada tahun 1909. Negeri kita belum mencapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan seperti yang kau impikan.
Oh ya, sejak 20 Oktober 2024, negara yang kau cintai ini dipimpin oleh putra dari seseorang yang pernah membantumu, Sumitro Djojohadikusumo, ketika kau menjabat sebagai perdana menteri dan memberikan semangat kepada Partai Sosialis Indonesia.
Di tangan Prabowo Subianto, putra Sumitro, nilai-nilai perjuangan dan pemikiran politikmu di PSI, kami berharap dapat diterapkan. Mengarahkan negara kita agar tidak terperangkap dalam kapitalisme yang terlalu ambisius, merusak alam, dan merugikan bumi.
Mungkin pada akhirnya ini adalah doa, Bang. Rakyat Indonesia berharap agar di bawah kepemimpinannya, pemerintah tidak lagi mengabaikan penderitaan rakyat.
Sebab rakyat atau demosmerupakan alasan negara ini berdiri dan memilih sistem politik demokratis.
Post a Comment