KABAR PRIANGAN — Pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, pukul 19.00 WIB, Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya akan disulap menjadi lorong waktu yang mempertemukan tradisi Sunda, sejarah kolonial, dan imajinasi masa depan.

Pertunjukan ini bertajuk “Kabayan Langlang Jagat”, naskah karya Rosyid E. Abby dan disutradarai oleh AB Asmarandana, diselenggarakan oleh mahasiswa Program Studi Sendratasik Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) angkatan 2022, sebagai ujian akhir mata kuliah Penyajian Drama.

Dengan harga tiket masuk hanya Rp25.000, penonton akan diajak menikmati kisah Kabayan versi futuristik—bukan lagi si tukang ngarit di saung, tapi kini menjadi Profesor Kabayan yang menciptakan teknologi mesin waktu.

Dalam lakon ini, Kabayan menjelajah zaman, dari era kolonial Batavia hingga masa depan imajinatif Bandung 2750 yang telah berubah menjadi rawa purba akibat perubahan iklim ekstrem.

- Peringatan HUT ke-9 Langgam Pustaka “Tumbuh Bersama”, Merayakan Perjalanan dan Kebersamaan

- Pujian sebagai Ujian Sejati: Stop Mencaci dan Mari Memulai Mengagungkan, Oleh Dosen Umtas, AB Asmarandana

Latar Budaya dan Proses Kreatif

Menurut Salas Sulastri, mahasiswa sekaligus Pimpinan Produksi, gagasan pertunjukan ini terinspirasi dari genre longser Sunda dan komedi tradisional. “Kabayan adalah tokoh ikonik dari budaya Sunda. Tapi di naskah ini, kami memberi warna baru. Dia bukan hanya pelawak, tapi juga ilmuwan. Kami ingin menunjukkan bahwa budaya bisa bertumbuh seiring zaman, tanpa kehilangan akarnya,” tutur Salas saat diwawancarai Kabar Priangan.

Proses kreatif ini memakan waktu satu semester, dengan dua bulan intensif latihan bersama sutradara dan tim produksi. Para pemain tidak hanya dituntut untuk berakting, tetapi juga menyanyi, menari, dan berinteraksi dengan teknologi panggung seperti video mapping dan tata musik semi-orkestra—sebuah kombinasi yang jarang ditemui dalam teater mahasiswa.

Drama, Kritik Sosial, dan Kolaborasi Seni

“Kabayan Langlang Jagat” bukan hanya hiburan. Ia juga kritik sosial yang cerdas. Dalam ceritanya, Kabayan berdebat dengan Sangkuriang soal logika waktu, cinta, dan trauma masa lalu. Adegan sisipan pada akhir pertunjukan menampilkan stand-up absurd antara dua tokoh yang menggugat persepsi sejarah dan kemajuan.

Kolaborasi ini juga mendapat dukungan dari Ngaos Art Foundation, yang dikenal aktif dalam pengembangan seni kontemporer di Jawa Barat. Ini memperkuat posisi pertunjukan sebagai bagian dari dinamika ekosistem seni lokal yang tumbuh progresif dan reflektif.

Ajak Masyarakat Menonton

Bagi yang ingin menyaksikan pertunjukan yang penuh warna, kritik, dan kelakar intelektual, jangan lewatkan malam magis ini. Selain menambah wawasan budaya dan sejarah, acara ini juga menjadi bukti bahwa mahasiswa seni bisa berbicara tajam dan artistik lewat panggung.

Seperti kutipan dari naskah:

“Hirup téh lain saukur ngagugulung cinta. Aya nu leuwih utama batan éta.”

Sebab hidup bukan hanya romansa, tapi juga perjalanan lintas waktu—dan Kabayan sudah membuktikannya di atas panggung.***

Post a Comment

Previous Post Next Post