MEDIA KUPANG – Surga tropis yang selama ini dijuluki sebagai “Amazon of the Sea” kini menghadapi ancaman serius. Sebuah laporan terbaru dari Greenpeace Indonesia mengungkap fakta mencengangkan: lebih dari 500 hektar hutan di Pulau Gag dan sekitarnya telah lenyap, dan dampaknya merambat jauh ke wilayah pesisir dan laut. Terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut pun kini mati perlahan.

Laporan ini bukan sekadar data di atas kertas. Tim Greenpeace turun langsung ke lapangan: mendokumentasikan citra udara, menyelam di sekitar lokasi tambang, dan mewawancarai warga lokal. Hasilnya: potret kehancuran ekologis yang selama ini nyaris tak terlihat oleh mata publik.

Salah satu temuan utama dalam laporan Greenpeace adalah deforestasi masif yang terjadi di Pulau Gag—pulau kecil yang termasuk dalam kawasan konservasi Raja Ampat. Berdasarkan citra satelit dan pemetaan digital, terdeteksi bahwa lebih dari 500 hektar tutupan hutan telah berubah menjadi kawasan industri tambang.

“Padahal, pulau ini dikategorikan sebagai pulau kecil yang seharusnya dilindungi sesuai UU No. 1 Tahun 2014. Tapi nyatanya, aktivitas tambang tetap berlangsung, dan dampaknya sangat besar,” kata Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Kegiatan ini sebagian besar dilakukan oleh PT Gag Nikel, anak perusahaan dari PT Antam Tbk, yang mendapatkan izin usaha pertambangan sebelum undang-undang tersebut diberlakukan. Meski izin itu bersifat legal, dampaknya kini menimbulkan polemik besar di kalangan pegiat lingkungan dan masyarakat lokal.

Kerusakan tidak berhenti di daratan. Deforestasi dan pengerukan tanah menimbulkan sedimentasi berat di laut, menyebabkan air menjadi keruh dan penuh lumpur. Akibatnya, terumbu karang yang dulunya sehat kini mulai memutih dan mati.

Greenpeace yang bekerja sama dengan penyelam lokal dan ilmuwan kelautan mencatat penurunan drastis kualitas air dan penurunan keanekaragaman hayati laut. Beberapa spesies endemik yang hanya bisa ditemukan di Raja Ampat mulai sulit terlihat dalam pantauan bawah air.

“Kami menyelam di sekitar Pulau Gag dan menemukan banyak terumbu karang yang mati. Airnya keruh, visibilitas buruk. Ini bukan lagi surga,” ujar Nataniel Meko, penyelam sekaligus warga lokal.

Suara Masyarakat Termarginalkan

Lebih dari sekadar bencana ekologis, kerusakan ini juga menyentuh sendi-sendi sosial masyarakat adat. Nelayan mengaku hasil tangkapan menurun drastis. Pelaku wisata lokal kehilangan daya tarik utama mereka—keindahan laut yang tak tergantikan.

“Dulu turis datang karena laut kami indah. Sekarang airnya keruh. Mereka tak mau snorkeling di sini lagi,” ungkap Maria Gubun, pelaku homestay di kawasan Piaynemo.

Ironisnya, banyak warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses perizinan tambang. “Kami tidak pernah diajak bicara. Tiba-tiba kapal besar datang, hutan digusur, tanah kami rusak,” kata seorang tetua adat dari Pulau Kawe.

Greenpeace: Cabut Semua Izin Tambang di Raja Ampat

Laporan Greenpeace menyerukan pencabutan seluruh izin pertambangan di wilayah Raja Ampat, termasuk milik PT Gag Nikel. Selain itu, mereka mendesak pemerintah untuk melakukan:

• Evaluasi menyeluruh terhadap semua izin tambang di pulau-pulau kecil

• Pemulihan ekosistem dan program restorasi hutan serta laut

• Penguatan perlindungan hukum terhadap pulau-pulau kecil dari eksploitasi industri

“Transisi energi bukan alasan untuk merusak tempat seindah dan sekritis Raja Ampat. Nikel untuk baterai kendaraan listrik tak boleh dibayar dengan hancurnya surga ekologis kita,” tegas Arie Rompas.

Meskipun pemerintah telah mencabut beberapa izin tambang di wilayah lain seperti Kawe dan Manuran, izin PT Gag Nikel di Pulau Gag masih aktif. Greenpeace mencatat bahwa beberapa pulau lainnya seperti Batang Pele dan Manyaifun juga dalam proses eksplorasi dan terancam mengalami nasib serupa.

Jika tren ini tidak dihentikan, maka dalam beberapa tahun ke depan, Raja Ampat bukan lagi “surga terakhir” di bumi, melainkan akan menjadi korban baru dari industri tambang yang serakah.**"

Post a Comment

Previous Post Next Post