
Masrizky , JAKARTA — Menteri Keuangannya Sri Mulyani Indrawati upacara serah terima jabatan Letjen TNI (Purn) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Djaka Utama menggantikan Askolani yang dirotasi menjadi Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
Penyucian tersebut berlangsung di Gedung Kementerian Keuangan ( Kemenkeu ), Jakarta Pusat pada Jumat (23/5/2025). Djaka merupakan salah satu pejabat eselon I yang dilantik dan dipindahkan oleh Sri Mulyani.
"Jumat tanggal 23 Mei 2025, saya menteri keuangan dengan ini resmi melantik saudara-saudara dalam jabatan yang baru di lingkungan Kementerian Keuangan," ujar Sri Mulyani.
Kasubag keuangan menyatakan yakin bahwa Djaka dan pejabat tingkat I lainnya yang diangkat akan menjalankan kewajiban mereka dengan semaksimal mungkin sesuai dengan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka.
Berikut adalah penjelasan: Djaka Utama merupakan direktur jenderal Bea Cukai pertama yang memiliki latar belakang militer di era Reformasi, yaitu setelah tahun 1998. Sementara itu, dalam masa Orde Baru (Orba), telah ada minimal tiga kesempatan dimana posisi tersebut juga ditempati oleh individu dengan latar belakang serupa dari tentara.
Sri Mulyani secara langsung mengumumkan nama Djaka Utama bersama gelar Purnawirawan. Ini menunjukkan bahwa ia telah resmi memasuki masa pensiun dari anggota TNI.
Berikut ini adalah daftar jabatan Esselon I di Kementerian Keuangan yang telah disematkan oleh Sri Mulyani:
-Staf Khusus untuk Urusan Regulasi dan Pelaksanaan Penegakan Hukum Pajak: Iwan Djuniardi
-Staf Spesialis Bidang Kepatuhan Pajak: Yon Arsal
-Staf Khusus untuk Urusan Pengawasan Perpajakan: Nufransa Wira Sakti
-Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara: Dwi Teguh Wibowo
-Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak: Mochamad Agus Rofiudin
-Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara: Sudarto
-Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional: Parjiono
-Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan pasar Modal: Arief Wibisono
-Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan: Rina Widiyani Wahyuningdyah
Rekam Jejak Militer di Bea Cukai
Peranan petinggi militer di Bea Cukai memang bukan hal baru. Pada era Orde Baru atau pemerintahan Presiden Soeharto, kursi nomor satu di Bea Cukai tercatat pernah diduduki oleh petinggi TNI.
Dikutip dari Majalah Media Keuangan yang diterbitkan Kemenkeu, Mayjen Slamet Danoesoedirdjo tercatat sebagai Petinggi Bea Cukai di Departemen Keuangan periode 1972–1973.
Setelah itu, pada 1981–1983, Bea Cukai dipimpin oleh Wahono. Pada masa mudanya, dia bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang yakni Pembela Tanah Air (PETA), lalu pada 1945 bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) alias cikal bakal TNI.
Wahono mengikuti Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD), yang kini bernama Seskoad. Setelahnya, dia menjadi asisten II di Kostrad, mencapai jabatan panglima, hingga menjadi Pangdam VIII/Brawijaya.
Dia berperan sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Myanmar dari tahun 1978 hingga 1981, setelah itu ia kembali ke tanah air dan mengemban tugas sebagai Direktur Jenderal Kepabeanan dan Cukai.
Selanjutnya, antara tahun 1983 hingga 1985, kepemimpinan Bea Cukai dipegang oleh perwira senior dari Departemen Hankam, yaitu Jenderal Bambang Soejarto. Ia menjabat setelah Wahono menjadi Gubernur Jawa Timur.
Menurut laporan dari Media Keuangan Kementerian Keuangan, keputusan menunjuk Bambang saat itu didorong oleh tingginya kasus pelanggaran dan penyeludupan di Direktorat Jenderal Bea Cukai. Tidak hanya itu, para pengusaha asal Jepang juga menyampaikan keluhan terkait petugas Bea Cuckai yang bertindak rumit dan sering kali meminta uang secara ilegal atau suap.
Presiden Soeharto juga menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 tahun 1985 berjudul Pedoman untuk Mendorong Aliran Lancar Barang demi Mendukung Aktivitas Ekonomi. Dalam instruksinya tersebut, ia menyerahkan beberapa kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang telah menjalin kerja sama dengan Societe Generale de Surveilance (SGS), sebuah perusahaan privat dari Swiss.
Wewenang tersebut kemudian kembali di serahkan ke Bea Cukai pada tahun 1997 melalui UU No. 10/1995 mengenai Kepabeanan yang mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 April 1997.
Menginjak zaman reformasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh pegawai dengan latar belakang sipil, khususnya mereka yang merupakan pegawai karier dari Kementerian Keuangan.
Kontroversi Pelantikan Djaka
Beni Kurnia Illahi, dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara di Universitas Bengkulu, mengungkapkan beberapa kelemahan hukum terkait dengan ide untuk menunjuk Letnan Jenderal TNI Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea Cukai di Kementerian Keuangan.
Saya pikir jika Presiden Prabowo Subianto memilih Letjen Djaka untuk menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai, hal tersebut bisa melanggar beberapa aturan hukum dan bertentangan dengan prinsip kerja keras berdasarkan kualifikasi.
"Walaupun presiden memiliki wewenang lengkap untuk menunjuk pegawai dari kalangan Polri atau TNI ke posisi spesifik di kementerian atau lembaga, namun hal tersebut masih terikat dengan peraturan yang berlaku," papar Beni kepada Bisnis pada hari Kamis (22/5/2025).
Dia mengambil contoh, Pasal 47 Undang-Undang Tentang TNI menjelaskan bahwa prajurit aktif diperbolehkan untuk memegang jabatan hanya di dalam 14 instansi pemerintah atau lembaga (K/L). Di antara 14 instansi itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak tercantum.
Di samping itu, Pasal 19 ayat (2) dari Undang-Undang ASN menyatakan bahwa posisi pegawai negeri sipil yang bisa ditempati oleh anggota TNI perlu memiliki hubungan erat dengan bidang militer seperti pertahanan serta keamanan. Menurut pandangan Beni, pekerjaan di Kementerian Keuangan tidak berhubungan dengan sektor tersebut.
Terakhir, penelitian dari Pusat Studi Konstitusi di Fakultas Hukum Universitas Andalas menunjukkan bahwa Pasal 108 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2020 yang membahas Pengelolaan Pegawai Negeri Sipil (ASN) secara khusus melarang mereka yang pernah menjadi terpidana untuk memegang posisi kepemimpinan senior. Dia menjelaskan bahwa Letnan Jenderal Djaka sebelumnya telah dituduh terlibat dalam suatu perkara pidana berdasarkan keputusan pengadilan militer.
Tentunya dari sudut pandang etis, hal ini harus mendapat perhatian masyarakat, agar tak terjadi penunjukan mereka yang belum layak sebagai pegawai negeri sipil, seolah-olah tidak ada lagi warga negara yang kompeten dan berprofesional dalam jalur karir sistem merit di republik kita. Begitulah pendapatnya.
Beni juga menyatakan bahwa Prabowo perlu mendesak Letjen Djaka untuk mundur lebih dulu dari posisinya sebagai perwira aktif TNI sebelum ditunjuk sebagai Dirjen Bea Cukai.
"Jika presiden atau menteri keuangan tetap menunjuk orang tersebut, maka penetapan penunjukan itu dianggap tidak sah secara formal dan ditetapkan sebagai pembatalan berdasarkan undang-undang," katanya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) mengomentari niat pemerintah melantik Mayor Jenjang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Djaka Budi Utama, menjadi Direktur Jenderal Bea dan Cukai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Jane Rosalina Rumpia, kepala divisi pemantauan impunitas dari Kontras, menyatakan bahwa penunjukkan Djaka menyalahi pasal 47 ayat (2) UU No. 34 tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Aturan ini mensyaratkan bahwa personel aktif hanya dapat ditempatkan di 14 departemen atau lembaga tertentu dan Departemen Keuangan bukan bagian darinya.
Jane menyingkap kembali amanat Reformasi yang dicantumkan dalam TAP MPR VI/MPR/2000 seputar pemisahan antara TNI dan Polri. Bagian dari pembukaannya menjelaskan bahwa peranan sosio-politik melalui konsep Dwifungsi ABRI membuat terjadi pelencetan tugas utama sehingga mencegah perkembangan aspek-aspek demokrasi di tengah kehidupan nasional, bangsa, serta masyarakat.
"Kecenderungan untuk menabrak aturan hukum terkait dengan penunjukkan perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil membuktikan bahwa pemerintahan hari ini mengedepankan corak militeristik untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang tentu tidak kompatibel dengan nilai demokrasi," ujarnya kepada Bisnis, dikutip Jumat (23/5/2025).
KontraS menambahkan bahwa Djaka juga memiliki rekam jejak yang kontroversial. Dia merupakan eks anggota Tim Mawar Kopassus yang terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997—1998.
"Dirinya [Djaka] juga telah divonis bersalah untuk kasus tersebut oleh Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 1999 dan dikuatkan oleh Mahkamah Militer Agung pada 2000 dengan vonis pidana penjara 16 bulan," jelas Jane.
Pada tahun 2007, KontraS bersama dengan famili para korban penculikan dan penghapusan paksa mengharapkan Mahkamah Agung (MA) untuk membuka data terkait tahapan hukum dari anggota Tim Mawar. Di tanggal 24 Mei 2007, kepala humas MA Nurhadi memberitahu KontraS serta famili para korban kalau kasus Tim Mawar telah diselesaikan oleh sistem peradilan dan memiliki kekuatan hukum yang final sejak tahun 2000.
Pada tanggal 24 Oktober 2000, Majelis Peradilan Tertinggi militer menjatuhkan hukuman penjara dengan masa tahanan bervariasi kepada 11 orang anggota Tim Mawar. Satu di antaranya adalah Djaka Budi Utama yang menerima vonis penjara selama 16 bulan.
Oleh sebab itu, Jane menekankan bahwa pengangkatan Djaka akan bertentangan dengan amanat Peraturan Pemerintah No. 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP Manajemen PNS). Pasal 108 PP Manajemen PNS menegaskan kalangan non-PNS (seperti Djaka) yang diangkat dalam jabatan pimpinan tinggi (seperti Dirjen Bea Cukai) tidak boleh pernah dipidana penjara.
Selain itu, dia menegaskan penunjukan Djaka menjadi Dirjen Bea Cukai Kemenkeu akan bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 47 UU TNI. Dalam beleid itu, prajurit TNI aktif seperti Djaka hanya boleh ditugaskan di 14 kementerian/lembaga (K/L) yang mana Kemenkeu tidak termasuk di dalamnya.
Pada era pemerintahan Presiden Prabowo, sambungnya, ada 5 K/L yang tidak disebut dalam pasal 47 UU TNI yang diisi oleh perwira TNI aktif meliputi Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Badan Penyelenggara Haji, Direktur Utama Perum Bulog, dan Ditjen Bea Cukai.
Post a Comment