Krisis Sampah Plastik: Ancaman Kesehatan dan Tantangan Regulasi

Krisis sampah plastik bukan hanya sekadar masalah lingkungan, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap kesehatan manusia. Studi terbaru dari Lancet Countdown on Health and Plastics menunjukkan bahwa polusi mikroplastik menyebabkan ratusan ribu kematian setiap tahun dan menimbulkan kerugian sebesar US$ 1,5 juta akibat beban penyakit yang diakibatkannya. Temuan ini memperkuat kekhawatiran akan dampak jangka panjang dari penggunaan plastik yang tidak terkontrol.

Kelompok aktivis Dietplastik Indonesia menggunakan hasil studi tersebut untuk mengajak Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengambil langkah berani dalam menerapkan cukai bijih plastik. Pengenaan cukai ini ditujukan pada bahan baku plastik virgin, bukan sekadar produk atau kemasan plastik. Dengan demikian, beban tidak sepenuhnya diberikan kepada masyarakat melalui kenaikan harga barang, tetapi ditanggung oleh industri hulu yang selama ini meraup keuntungan besar dari produksi plastik mentah.

Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira, menjelaskan bahwa cukai bijih plastik adalah instrumen keadilan. "Masyarakat selama ini selalu dikenai pajak atas konsumsi, maka wajar jika industri hulu plastik juga harus ikut menanggung konsekuensi dari produk yang mereka hasilkan," katanya. Ia menegaskan bahwa penerapan cukai ini bisa menjadi solusi ganda, yaitu menekan laju produksi plastik virgin dan menghindari risiko gangguan kesehatan dari polusi plastik.

Sebelumnya, pada 2018, Dietplastik Indonesia bersama kalangan lainnya menggagas petisi daring untuk mendorong adanya cukai plastik. Petisi yang menghimpun hampir 1,2 juta tanda tangan itu kemudian diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Pada 2019, Kementerian Keuangan sempat merespons dengan rencana penerapan cukai plastik pada kantong plastik, namun implementasinya tertunda akibat pandemi COVID-19. Pada Januari 2025, rencana tersebut resmi dihentikan karena dianggap cukup diatasi dengan kebijakan non-fiskal pelarangan kantong plastik.

Menurut Tiza, cukai bijih plastik adalah instrumen keadilan. "Masyarakat selama ini selalu dikenai pajak atas konsumsi, maka wajar jika industri hulu plastik juga harus ikut menanggung konsekuensi dari produk yang mereka hasilkan,” katanya menegaskan. Ia menambahkan bahwa dengan perancangan yang tepat, penerimaan cukai dapat dialokasikan untuk program kesehatan publik serta inovasi pengelolaan sampah rendah emisi, sehingga manfaatnya kembali ke masyarakat.

Tiza melanjutkan, keberanian Menteri Keuangan menerapkan cukai bijih plastik akan menjadi warisan penting bagi kesehatan publik dan masa depan lingkungan Indonesia. "Plastik mungkin murah diproduksi, tetapi biayanya dibayar mahal dengan nyawa dan kesehatan manusia,” kata dia. Ia menilai bahwa intervensi di hulu, yakni pada tingkat produksi, adalah langkah paling efektif untuk mengurangi dampak krisis plastik.

Penggagas petisi, Nadia Mulya, mengatakan bahwa banyak tenggat target pengurangan plastik terlewat tanpa hasil nyata, meskipun para pegiat lingkungan telah berupaya keras di berbagai lini. Itu sebabnya, menurut dia, dukungan pemerintah kini menjadi kunci, khususnya terhadap industri yang masih memproduksi plastik dari bijih virgin. Ia menyatakan sudah saatnya produsen berinovasi mencari alternatif yang berkelanjutan, serta patuh pada prinsip Extended Producer Responsibility (EPR). "Kami mengajak pemerintah, khususnya Bapak Purbaya, untuk segera menerapkan kebijakan cukai plastik," kata Nadia sambil menambahkan, "Kami siap mendukung penuh upaya edukasi dan sosialisasinya demi mendorong perubahan nyata.”

Post a Comment

Previous Post Next Post