Mengapa Generasi Z Enggan Membeli Rumah

Punya rumah sendiri sering dianggap sebagai simbol kesuksesan dalam hidup. Namun, bagi generasi Z, kepemilikan rumah justru terasa semakin jauh dari jangkauan. Survei terbaru menunjukkan bahwa 36 persen responden Gen Z di Indonesia memilih untuk tidak membeli rumah dulu. Angka ini cukup besar dan menandakan adanya kesenjangan antara kemampuan finansial dengan harga properti saat ini.

Alih-alih terburu-buru membeli rumah, banyak dari generasi Z yang lebih memilih menyewa tempat tinggal atau bahkan tinggal bersama keluarga. Bukan berarti mereka tidak ingin punya rumah, tapi kondisi sekarang membuat pilihan itu terasa kurang realistis. Masalah utamanya bukan pada niat, melainkan daya beli yang tidak sebanding dengan harga properti.

Berikut adalah lima alasan mengapa generasi Z enggan membeli rumah meskipun sebenarnya ada keinginan untuk memiliki rumah:

  1. Harga Rumah Terlalu Tinggi

    Salah satu alasan utama kenapa Gen Z masih menunda beli rumah adalah tingginya harga properti. Dengan gaji rata-rata sekitar Rp7,5 juta per bulan di Jakarta, cicilan rumah senilai Rp300 juta bisa mencapai Rp2,5 juta per bulan. Angka ini dianggap cukup berat, apalagi kalau dibandingkan dengan kebutuhan gaya hidup sehari-hari. Bahkan rumah subsidi seharga Rp180 juta sekalipun sering kali lokasinya jauh dari pusat kota. Bagi orang yang masih aktif kerja dan butuh mobilitas tinggi, lokasi menjadi faktor penting. Jadi meski harganya lebih murah, tetap saja terasa tidak menarik.

  2. Daya Beli Tidak Sebanding dengan Keinginan

    Menurut Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, generasi muda sebenarnya punya keinginan kuat untuk beli rumah. Namun dengan daya beli saat ini, keinginan itu jadi sulit diwujudkan. Hal ini membuat banyak dari Gen Z lebih realistis memilih opsi sewa dibanding harus menanggung beban cicilan jangka panjang. Membeli rumah memang terdengar ideal, tapi kalau harus mengorbankan hampir setengah gaji untuk cicilan, rasanya kurang bijak. Pada akhirnya, banyak Gen Z yang lebih memprioritaskan kestabilan keuangan ketimbang memaksakan sesuatu di luar kemampuan.

  3. Program Insentif Belum Merata

    Saat ini, insentif perumahan dari pemerintah lebih banyak menyasar kelompok berpenghasilan rendah. Misalnya keringanan pajak BPHTB, bantuan biaya administrasi bank, hingga suku bunga 5 persen untuk tenor 20 tahun. Sayangnya, kebijakan ini kurang menyentuh kelas menengah produktif, yaitu segmen terbesar dari Gen Z yang sedang bekerja. Kondisi ini membuat banyak generasi muda merasa kurang terfasilitasi. Padahal, kalau ada program yang lebih fleksibel untuk kelas menengah, minat generasi Z dalam membeli rumah kemungkinan akan meningkat.

  4. Gaya Hidup Lebih Fleksibel

    Enggartiasto Lukita, seorang tokoh senior di industri properti, menyebut bahwa gaya hidup fleksibel generasi Z sangat memengaruhi tren hunian. Banyak dari mereka lebih suka mobilitas tinggi, pindah-pindah kota, bahkan bekerja dengan konsep work from anywhere (WFA). Dalam kondisi ini, membeli rumah justru dianggap mengikat dan kurang sesuai dengan gaya hidup. Banyak anak muda yang akhirnya memilih tinggal di kota-kota populer seperti Bali dengan sistem sewa. Pilihan ini terasa lebih fleksibel sekaligus memberikan kesempatan untuk menikmati pengalaman baru tanpa harus terbebani cicilan rumah.

  5. Pasar Sewa Semakin Berkembang

    Tren menyewa tempat tinggal kini semakin diminati. Developer pun mulai merespons kebutuhan ini dengan membangun kawasan yang memang ditujukan untuk pasar sewa. Kondisi ini membuat generasi muda memiliki lebih banyak pilihan tanpa harus terikat pada kepemilikan properti. Meskipun tren tersebut tidak mendorong peningkatan kepemilikan rumah, industri properti tetap berjalan sehat karena sektor sewa tetap hidup. Dengan begitu, meskipun banyak generasi Z belum memiliki rumah sendiri, kebutuhan akan tempat tinggal tetap bisa terpenuhi dengan cara yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini.

Generasi Z bukan berarti tidak mau punya rumah, tapi lebih pada kenyataan bahwa harga dan kondisi sekarang belum mendukung. Tingginya harga, daya beli yang terbatas, minimnya insentif, hingga gaya hidup fleksibel membuat banyak dari anak muda lebih memilih sewa dibanding beli. Bukan sesuatu yang salah, karena setiap generasi pasti punya caranya sendiri untuk membangun kehidupan. Hal terpenting adalah menyesuaikan pilihan dengan kondisi finansial serta gaya hidup yang dijalani saat ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post