
Peningkatan Dana Pemda di Perbankan
Pada akhir Agustus 2025, dana pemerintah daerah (pemda) yang tersimpan di perbankan mencapai angka Rp 233,11 triliun. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah pencatatan. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, seperti Agustus 2021 yang hanya sebesar Rp 178,95 triliun, dan Agustus 2022 serta Agustus 2023 masing-masing sebesar Rp 203,42 triliun dan Rp 201,31 triliun, angka tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Sementara itu, pada Agustus 2024, dana pemda di perbankan tercatat sebesar Rp 192,57 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada fluktuasi, secara keseluruhan jumlah dana yang mengendap di perbankan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Penyebab Realisasi Belanja Daerah yang Lambat
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan bahwa realisasi belanja daerah yang lambat merupakan masalah lama. Menurutnya, perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) biasanya dilakukan pada periode September hingga Oktober. Namun, proses kontrak baru dimulai setelahnya, biasanya pada bulan April.
“Modusnya dari tahun ke tahun, kontrak itu diulai sekitar bulan empat, jadi April,” ujarnya dalam diskusi media di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 3 Oktober 2025.
Menurut Prima, realisasi belanja baru berjalan cepat dalam tiga bulan terakhir tahun anggaran. Akibatnya, saldo yang mengendap di perbankan pada pertengahan tahun menjadi menumpuk. Meski demikian, ia memprediksi bahwa dana pemda di perbankan akan berkurang pada akhir tahun menjadi kisaran Rp 95 triliun hingga Rp 100 triliun.
Tantangan dalam Penggunaan Dana Pemda
Walaupun dana pemda di perbankan cukup besar, Kementerian Keuangan juga mengakui bahwa ada sebagian daerah yang tidak membelanjakan anggarannya secara optimal. “Nah, ini yang menjadi tantangan buat daerah, gimana dia mempercepat itu. Sehingga saldo kasnya bisa lebih baik,” ujar Prima.
Tantangan ini menjadi fokus utama bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana yang telah dialokasikan. Dengan mempercepat realisasi belanja, daerah dapat mengurangi jumlah dana yang mengendap dan memastikan dana digunakan secara maksimal sesuai kebutuhan.
Perlambatan Belanja Daerah dan Faktor Penyebabnya
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, sebelumnya menyampaikan bahwa meskipun realisasi transfer ke daerah (TKD) tahun ini meningkat, belanja daerah mengalami perlambatan. Sampai dengan 31 Agustus 2025, TKD yang telah disalurkan mencapai Rp 571,5 triliun atau setara 66,1 persen dari outlook APBN 2025. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu Rp 562,1 triliun.
Namun, belanja daerah terkontraksi hingga 14,1 persen. Menurut Suahasil, penyebab dari melambatnya belanja daerah adalah pergantian kepemimpinan dan kebijakan efisiensi. Pada 2025, terdapat pergantian kepemimpinan mulai dari level Gubernur hingga Wali Kota.
“Bisa jadi ini ada perlambatan karena pergantian kepemimpinan, juga ada perlambatan karena kebijakan pencadangan yang kami keluarkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) 1 tahun 2025,” ujarnya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin, 22 September 2025.
Upaya Mempercepat Realisasi Belanja Daerah
Untuk mengatasi perlambatan belanja daerah, pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam mempercepat realisasi anggaran. Ini termasuk memperbaiki sistem perencanaan dan penganggaran, serta memastikan adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih fleksibel dan responsif terhadap situasi yang terjadi di lapangan. Dengan begitu, dana yang telah dialokasikan dapat digunakan secara optimal dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Post a Comment