Proposal Perdamaian Trump dan Tantangan Diplomasi Internasional
Proposal perdamaian yang terdiri dari 20 poin, yang diajukan oleh Presiden Donald Trump untuk Jalur Gaza pada September 2025, kembali mengguncang panggung diplomasi internasional. Dalam dokumen tersebut, tercantum skema gencatan senjata segera, pembebasan sandera dalam waktu 72 jam, pelucutan senjata Hamas, serta penarikan bertahap pasukan Israel. Kerangka ini secara teoritis merepresentasikan upaya transisi menuju penghentian konflik, tetapi dalam praktiknya menimbulkan perdebatan serius.
Bagi Israel, kerangka ini dianggap sebagai jaminan keamanan minimum. Hamas dilucuti, sandera dipulangkan, dan pasukan IDF dapat ditarik dengan kalkulasi bertahap. Namun bagi Hamas, klausul ini terasa sebagai "penyerahan tanpa syarat". Hamas menolak pelucutan senjata total dan menginginkan jaminan internasional bahwa Israel tidak akan melanjutkan pembunuhan maupun operasi militer, baik di Gaza maupun di luar wilayah tersebut.
Titik ketegangan jelas. Proposal Trump mengandung logika real politik, yakni memaksa pihak non-negara seperti Hamas tunduk pada syarat yang ditentukan kekuatan negara dominan. Sementara Hamas dan faksi Palestina lainnya menuntut keadilan substantif, yaitu penghentian agresi militer permanen, penarikan penuh Israel, dan pengakuan legitimasi politik.
Perubahan narasi mulai tampak ketika Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, melakukan kunjungan ke Amerika Serikat pada akhir September 2025. Diplomasi bilateral Israel-AS ini jelas memiliki pengaruh besar terhadap isi proposal akhir. Sinyal kuat muncul bahwa sejumlah klausul akan dimodifikasi agar tetap sejalan dengan garis keras Israel yang enggan memberikan ruang politik bagi Hamas.
Pada 23 September 2025, delapan negara Arab dan mayoritas Muslim yang meliputi Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Indonesia, Pakistan, Turki, Qatar, dan Mesir, merilis pernyataan bersama di sela Sidang Umum PBB. Dukungan kolektif ini menegaskan adanya konsensus regional untuk memastikan Gaza dikelola oleh pemerintahan teknokratik Palestina tanpa keterlibatan Hamas, serta komitmen bahwa Israel tidak akan mencaplok Gaza.
Dalam perspektif studi perdamaian, inisiatif ini menyiratkan kompromi klasik. Demiliterisasi faksi non-negara diganti dengan legitimasi politik melalui pemerintahan transisi. Namun, problem utamanya adalah trust deficit yang begitu tinggi. Hamas merasa teralienasi, Israel masih memegang logika superioritas militer, dan masyarakat sipil Gaza terjebak dalam dilema eksistensial.
Unsur yang patut dicermati adalah klausul mengenai pemerintah sementara Gaza. Sebuah pemerintahan teknokratik Palestina, tanpa Hamas, dirancang untuk menjalankan rekonstruksi dan tata kelola sipil. Pertanyaannya: Apakah struktur ini benar-benar dapat netral? Atau hanya menjadi instrumen kepentingan geopolitik Israel dan Amerika?
Pada titik inilah, jaminan internasional menjadi krusial. Hamas secara eksplisit meminta keterlibatan internasional sebagai penjamin penarikan penuh Israel dan pencegahan kekerasan di masa depan. Dalam kerangka pertahanan negara, mekanisme peacekeeping dengan mandat PBB merupakan salah satu solusi paling rasional.
Indonesia—sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan reputasi diplomasi aktif—memiliki peluang historis untuk mengambil peran besar. Usulan pengiriman 20 ribu pasukan perdamaian Indonesia bukan hanya simbol solidaritas, tetapi juga instrumen strategis dalam menjaga kepercayaan internasional.
Dari sudut pertahanan negara, pengiriman pasukan perdamaian ini bukanlah ekspedisi militer ofensif, melainkan operasi humaniter bersenjata ringan yang bertujuan menjaga stabilitas. Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam misi perdamaian PBB, mulai dari Mesir pada 1957, Kongo, Vietnam, Kamboja, Somalia, hingga Lebanon, yang dapat dijadikan modal legitimasi.
Selain aspek militer, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam rekonstruksi Gaza. Sosok seperti Jusuf Kalla telah terbukti menjadi mediator ulung dalam konflik internal, baik di Aceh maupun Poso. Pendekatan negosiasi berbasis trust-building inilah yang sangat dibutuhkan di Gaza, di luar logika formal diplomasi antarnegara.
Rekonstruksi Gaza harus diarahkan pada tiga fondasi, meliputi infrastruktur dasar, penguatan institusi sipil, dan pemberdayaan sumber daya manusia. Tanpa rekonstruksi berkelanjutan, gencatan senjata hanya akan melahirkan pause in conflict, bukan perdamaian sejati.
Proposal Trump memiliki wajah ganda. Satu sisi mencoba membangun kerangka keamanan minimum, sisi lain berpotensi melanggengkan dominasi struktural Israel. Inilah yang disebut Johan Galtung sebagai negative peace, ketiadaan perang terbuka, tetapi tanpa keadilan struktural.
Agar bertransformasi menjadi positive peace, dibutuhkan keterlibatan lebih dalam dari komunitas internasional, termasuk mekanisme jaminan keamanan, pembangunan ekonomi, dan keadilan politik bagi rakyat Palestina. Tanpa itu, Gaza akan tetap menjadi “penjara terbuka” dengan wajah baru.
Kritik utama terhadap proposal Trump adalah absennya ruang representasi politik bagi Hamas dan faksi lainnya. Meskipun mereka kontroversial, menghapus Hamas sepenuhnya dari struktur politik sama saja dengan mengabaikan realitas sosial di Gaza. Dalam teori konsolidasi perdamaian, inklusi politik adalah fondasi utama.
Namun dari sudut pandang pertahanan negara Israel, logika pelucutan Hamas jelas krusial. Israel menilai eksistensi Hamas adalah ancaman eksistensial yang tidak bisa dinegosiasikan. Inilah dilema klasik konflik asimetris, antara tuntutan keamanan negara dengan hak representasi kelompok non-negara.
Indonesia dan negara-negara Arab lainnya memiliki peran strategis untuk menjembatani gap ini. Melalui diplomasi multi-track—yang melibatkan pemerintah, organisasi internasional, masyarakat sipil, hingga mediator non-formal—jalan damai yang lebih inklusif bisa ditempuh.
Pada akhirnya, proposal Trump dapat dipandang sebagai momentum penting, tetapi belum cukup sebagai solusi akhir. Masa depan Gaza tidak hanya ditentukan oleh senjata dan diplomasi, tetapi juga oleh kemampuan komunitas internasional menciptakan struktur perdamaian yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan. Indonesia—dengan modal sejarah, diplomasi, dan legitimasi moral—memiliki peluang emas untuk menjadi arsitek perdamaian Gaza yang sejati.
Post a Comment