Penyelidikan ICW terhadap Pengadaan Smart TV dalam Digitalisasi Pembelajaran

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti berbagai masalah serius yang muncul dalam program pengadaan Smart TV dalam kerangka digitalisasi pembelajaran. Menurut peneliti ICW, Nina Rizkiah Zonzoa, masalah utama terletak pada aspek transparansi, akuntabilitas, serta kepatuhan terhadap regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Transparansi yang Tidak Jelas

Dalam hal transparansi, pengadaan Smart TV tidak dibuka secara gamblang mulai dari metode pengadaannya hingga urgensi yang diperlukan. Nina menyatakan bahwa dalam Inpres Nomor 7 tahun 2025 tidak ditemukan arahan khusus untuk melakukan pembelian televisi. Hal ini menunjukkan kurangnya kejelasan dalam proses pengadaan, sehingga memicu pertanyaan tentang tujuan sebenarnya dari program tersebut.

Akuntabilitas yang Tidak Terpenuhi

Dari sisi akuntabilitas, tidak ada Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk pengadaan Smart TV. Dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa, pengadaan itu melebihi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemendikdasmen.

Nina menjelaskan bahwa anggaran DIPA Kemendikdasmen hanya sebesar Rp 452,31 miliar, sedangkan total pengadaan mencapai Rp 8,3 triliun. Selisih antara anggaran dan pengadaan mencapai Rp 7.855.134.319.005, yang menjadi pertanyaan besar mengenai penggunaan dana tersebut.

Kepatuhan terhadap Regulasi yang Disangsikan

Dari segi kepatuhan terhadap regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, pengadaan Smart TV dinilai melanggar aturan. Dari delapan paket pengadaan terkait digitalisasi pembelajaran, empat di antaranya dilakukan dengan penunjukan langsung dan bernilai sekitar Rp 7,9 triliun. Selain itu, juga ditemukan pengadaan langsung senilai Rp 396 miliar.

Nina menegaskan bahwa metode pengadaan langsung diatur dalam Peraturan Presiden No 46 tahun 2025 terkait Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Pasal 38 ayat 3 huruf (a). Aturan ini menyebutkan bahwa penunjukan langsung paling banyak bernilai Rp 200 juta. Namun, dalam Inpres Nomor 7 tahun 2025, yang menjadi rujukan program digitalisasi pembelajaran, tidak terdapat arahan eksplisit mengenai penggunaan metode penunjukkan langsung dalam pemilihan penyedia.

Penjelasan dari LKPP

Sebelumnya, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menyatakan bahwa pengadaan barang tanpa tender ini sudah sesuai dengan aturan, mengingat program smart TV merupakan keinginan langsung Presiden. Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP Setya Budi Arijanta menjelaskan bahwa untuk mendapatkan harga yang bersaing, pihaknya tidak melakukan penunjukan langsung kepada satu perusahaan, tetapi menggunakan metode penunjukan kompetisi.

Maksudnya, LKPP lebih dulu menyisir perusahaan-perusahaan besar yang dinilai mampu memenuhi program ini. Mereka mengundang perusahaan besar yang memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 25 persen. Saat itu ada delapan perusahaan besar yang mereka undang untuk mengajukan penawaran. Namun, dari jumlah itu, hanya dua perusahaan yang menyodorkan harga, yakni Acer dan Hisense. Kedua perusahaan digital itu menawarkan harga Rp 40-an juta per unit.

Dalam proses negosiasi, Acer memilih mundur karena enggan menurunkan harga. Sedangkan pemerintah dan Hisense bersepakat dengan harga Rp 26 juta per unit. "Sudah termasuk ongkos kirim, asuransi, dan garansi gitu, ya," kata Setya pada Jumat, 12 September 2025.

Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post