
Perdamaian yang Terlalu Jauh
Langit Gaza masih menyisakan debu perang. Di balik reruntuhan dan suara azan yang lirih, dunia mendengar gema baru — bukan dari ledakan, melainkan dari kata “berunding”. Setelah berbulan-bulan diliputi bara, satu kalimat dari Hamas mengguncang panggung politik global: mereka siap membicarakan perdamaian.
Dari Yerusalem, Kantor Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu langsung merespons. Sebuah pernyataan resmi mengonfirmasi bahwa ‘Israel’ kini tengah menyiapkan langkah “implementasi segera” dari rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membebaskan para sandera di Gaza.
“Menyusul tanggapan Hamas, Israel sedang mempersiapkan implementasi segera tahap pertama rencana Trump untuk pembebasan semua sandera,” ujar pernyataan Kantor Netanyahu seperti dikutip dari AFP pada Sabtu, 4 Oktober 2025.
Netanyahu menegaskan, koordinasi penuh akan terus dijaga dengan Gedung Putih.
“Kami akan terus bekerja sama sepenuhnya dengan Presiden dan timnya untuk mengakhiri perang sesuai prinsip Israel yang sejalan dengan visi Presiden Trump,” lanjut pernyataan tersebut.
Harapan Baru di Timur Tengah?
Kabar dari Washington datang dengan nada berbeda: bukan ancaman, tapi seruan damai. Donald Trump, yang kini kembali menempati Gedung Putih, mengunggah pesannya melalui akun Truth Social — platform yang menjadi corong retorika politiknya.
“Berdasarkan pernyataan yang baru saja dikeluarkan Hamas, saya yakin mereka siap untuk perdamaian abadi. Israel harus segera menghentikan pengeboman Gaza agar kita dapat membebaskan para sandera dengan aman dan cepat!” tulis Trump dalam unggahannya, sebagaimana dikutip Al Jazeera.
Trump juga menyebut bahwa perbincangan mengenai detail rencana perdamaian telah berlangsung antara para pihak.
“Kami sudah berdiskusi tentang detail yang akan diselesaikan. Ini bukan hanya tentang Gaza, ini tentang perdamaian yang telah lama dinantikan di Timur Tengah,” ujarnya.
Nada optimistis itu kontras dengan pemandangan di lapangan. Gaza masih gelap oleh pemadaman listrik dan blokade. Namun, bagi sebagian orang, kata “berunding” sudah cukup menjadi celah kecil tempat harapan bisa masuk.
Hamas: Siap Akhiri Perang dan Serahkan Gaza kepada Pemerintahan Teknis
Dalam pernyataan resmi yang disebarkan melalui kanal Telegram, Hamas menyatakan kesiapannya untuk membahas proposal damai yang diajukan oleh Trump.
“Gerakan ini menegaskan kesiapannya untuk segera berunding melalui para mediator guna membahas detail perjanjian ini,” tulis Hamas.
Lebih jauh, kelompok itu juga membuka peluang pembentukan pemerintahan baru di Gaza yang bersifat independen dan teknokratis, terdiri dari warga Palestina sendiri, serta didukung negara-negara Arab dan Islam.
“Kami menyetujui pembentukan badan independen yang terdiri dari para teknokrat Palestina, berdasarkan konsensus nasional dan dukungan Arab serta Islam,” demikian isi pernyataan itu.
Selain pembebasan sandera, Hamas menekankan isu penarikan pasukan ‘Israel’ dari Gaza dan pengakuan atas hak-hak rakyat Palestina sebagai bagian dari negosiasi.
“Isu-isu lain yang disebutkan dalam proposal Presiden Trump mengenai masa depan Jalur Gaza dan hak-hak sah rakyat Palestina akan dibahas dalam kerangka posisi nasional yang bersatu, serta sesuai dengan hukum dan resolusi internasional,” lanjut Hamas.
Antara Diplomasi dan Luka yang Belum Kering
Meski tanda-tanda gencatan senjata mulai terlihat, banyak pihak masih meragukan apakah “rencana Trump” benar-benar dapat memulihkan kepercayaan yang telah lama hancur. Di Gaza, ribuan keluarga masih mencari anggota yang hilang. Di Tel Aviv, keluarga para sandera masih menunggu kabar kepastian.
Dalam sejarah panjang Palestina–‘Israel’, momentum seperti ini sering datang dan pergi. Namun kali ini berbeda. Hamas berbicara tentang “perundingan,” bukan “perlawanan.” Dan Netanyahu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, menyebut kata “implementasi rencana damai.”
Donald Trump, yang kembali tampil sebagai mediator Timur Tengah, tampaknya mencoba mengukir warisan politik yang pernah gagal di masa lalunya. Tapi di luar kalkulasi politik itu, bagi warga Gaza yang kehilangan rumah dan bagi keluarga sandera yang menanti kabar, satu hal paling penting adalah berakhirnya perang — walau hanya untuk sementara.
Di banyak masjid Gaza, doa kini terdengar lebih panjang. Di Yerusalem, lampu Knesset tetap menyala hingga larut malam — menandai perdebatan panjang yang mungkin menentukan arah sejarah. Dunia menatap dengan napas tertahan.
Apakah ini awal dari babak baru perdamaian? Atau sekadar jeda?
Tak seorang pun tahu pasti. Namun dalam hiruk-pikuk politik global yang keras dan dingin, kata “berunding” — betapa sederhananya — terdengar seperti kalimat paling manusiawi yang bisa diucapkan hari ini.
Post a Comment