Kritik terhadap Regulasi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik
Seorang pengamat ketahanan energi dari Universitas Indonesia (UI), Ali Ahmudi Achyak, menyampaikan pandangan pesimis mengenai keberhasilan regulasi baru yang diberi nama Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) dalam menangani masalah sampah di berbagai kabupaten dan kota. Ia menilai ada beberapa ketentuan yang berpotensi bermasalah serta kurangnya transparansi dalam penerapan regulasi ini.
Ali, yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan (PUSKEP) UI, menjelaskan bahwa dalam draf revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi PSEL Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, terdapat tiga struktur baru yang menjadi perhatian. Struktur-struktur tersebut meliputi Danantara sebagai pemilik modal atau investor, badan usaha yang menjadi operator PSEL, dan badan usaha yang menjadi pengembang PSEL.
Menurut Ali, draf revisi Perpres ini belum menjelaskan dengan jelas kriteria badan usaha pengelola PSEL. Apakah entitas Danantara sendiri yang akan menjadi pengelola ataukah perusahaan lokal yang didirikan oleh Danantara bersama mitra investornya masih belum jelas. Selain itu, kriteria Badan Usaha Pengembang PSEL yang akan dipilih oleh pengelola PSEL juga masih belum jelas. "Apakah perusahaan asing yang memiliki teknologi dapat langsung menjadi pengembang PSEL ataukah bersama mitra perusahaan lokal? Draf perpres tidak terang benderang," ujarnya.
Harga Beli Listrik yang Tinggi
Masalah kedua yang disorot oleh Ali adalah tingginya harga beli listrik oleh PLN atau Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Harga beli listrik yang ditetapkan sebesar US$ 20 sen per kWh meningkat dari isi perpres sebelumnya yang masih menetapkan sebesar 12 sen dolar. Menurut Ali, kenaikan sebesar 66,7 persen ini akan meningkatkan dana yang harus dikeluarkan oleh PLN.
Dari sisi badan usaha pengelola PSEL, harga baru tersebut memang akan menambah daya tarik investasi PSEL. Namun, masalahnya, perpres sebelumnya dengan harga 12 sen dolar per kWh saja masih tidak jalan karena dinilai kemahalan oleh PLN. "Sekarang dinaikkan jadi 20 sen, apakah akan efektif berlaku?" tanya Ali.
Ali menambahkan bahwa kenaikan harga beli listrik sebesar ini akan membuat program PSEL tidak berkelanjutan di masa mendatang. "Mengingat dalam jangka panjang berpotensi mengganggu keuangan PLN dan dapat terhenti sewaktu-waktu karena masalah harga ini."
Transparansi dalam Harga Beli Listrik
Dalam draf revisi perpres, kata Ali, ketentuan harga beli listrik oleh PLN diatur dalam pasal 14. Di sana dijelaskan bahwa harga tersebut meliputi biaya pembangunan PSEL, biaya pembangunan fasilitas pengelolaan sampah, biaya pengadaan jaringan dari PSEL ke jaringan tenaga listrik PLN, dan termasuk subsidi biaya pembelian harga listrik. "Belum cukup transparan, terutama komponen subsidi di dalamnya," tambahnya.
Keterlibatan Danantara dalam Proyek PSEL
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan telah menyebutkan keterlibatan Danantara dalam proyek PSEL. Peran badan ini untuk menggandeng mitra investor, seperti bisnis pengelolaan sampah yang juga diklaimnya sedang berkembang di berbagai negara, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Cina. "Danantara bisa juga bisnis di situ. Sangat menguntungkan. Jadi partner, paling kurang menyeleksi teknologi. Ini bisnis," ujar Zulkifli pada April lalu.
Revisi Perpres yang Masih Tertunda
Presiden Prabowo Subianto akan mengesahkan revisi Perpres 35/2018 yang dimaksudkan untuk menyederhanakan proses pengelolaan sampah menjadi listrik, mulai dari perizinan, pengelolaan, dan mekanisme pembayaran tersebut. Pengesahan molor dari rencana sebelumnya pada akhir September lalu. Namun hingga awal Oktober ini, perpres tersebut belum disahkan dan diumumkan ke publik.
Dalam revisi ini, pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan pasokan sampah dan lokasi pengelolaan sampah terpadu (TPST). Selain menyediakan lahan, pemerintah daerah menyediakan pasokan sampah minimal 1.000 ton per hari. Dalam perpres perubahan ini, pemerintah menetapkan proyek PSEL dibangun di 33 kabupaten/kota, meningkat dari sebelumnya di 12 kabupaten/kota. Sebagian besar merupakan kabupaten dan kota besar yang memiliki volume sampah besar lebih dari 1.000 ton per hari.
Post a Comment