https://www.masrizky.biz.id/ Seseorang bisa dengan tenang mempresentasikan portofolio bernilai miliaran rupiah di depan puluhan orang, tapi langsung berkeringat dingin ketika harus mengangkat ponsel. Jika ketimpangan itu terasa familier, kamu tidak sendirian.

Rasa gugup saat menelepon adalah hal yang umum, bahkan di kalangan orang-orang yang sangat fasih bersosialisasi. Dilansir dari VegOut, enam alasan berikut mungkin menjelaskan kenapa panggilan telepon bisa terasa seperti lari maraton tanpa pemanasan.

1. Tidak Ada Bahasa Tubuh yang Bisa Dibaca

Menelepon ibarat berdiri di atas panggung tanpa naskah dan tanpa lampu. Tanpa tatapan mata, senyum kecil, atau anggukan sopan, otak kehilangan isyarat bahwa situasinya aman. Akibatnya? Ia mulai mengarang skenario buruk.

Dan detik berikutnya, jari sudah mengarah ke tombol ignore.

Untuk menenangkan sistem saraf yang panik, coba "narasikan" apa yang biasanya dibaca dari bahasa tubuh. Kalimat seperti, “Kalau aku bicara terlalu cepat, silakan hentikan ya,” bisa membantu kedua pihak merasa lebih terhubung, meski hanya lewat suara.

2. Kritikus Batin Terlalu Aktif Saat Telepon Dimulai

Di era pesan teks dan email, tekanan untuk “sempurna saat bicara” terasa nyata. Tidak ada tombol hapus saat berbicara langsung. Jika ada kesalahan, tidak bisa dikoreksi—hanya bisa dilanjutkan.

Akibatnya, suara dalam kepala mulai menilai setiap pilihan kata, nada suara, bahkan cara tertawa.

Untuk meredamnya, cukup tempelkan catatan kecil yang mengingatkan: “Ini panggilan, bukan pertunjukan.” Kedengarannya sepele, tapi cukup untuk mengubah percakapan dari sesi audisi menjadi dialog yang santai.

3. Takut Mengganggu atau Memboroskan Waktu Orang Lain

Banyak orang merasa canggung menelepon karena takut dianggap mengganggu. Apalagi jika lawan bicara adalah orang sibuk—bayangan mereka menatap jam sambil menghitung detik bisa membuat siapa pun salah tingkah.

Solusinya? Langsung beri konteks dan durasi. Contoh: “Aku cuma punya dua pertanyaan, ini cuma butuh sekitar tiga menit.”

Dengan begitu, kamu tidak hanya memberikan struktur percakapan, tapi juga memberi diri sendiri batas yang membuat panggilan terasa lebih terkendali.

4. Pengalaman Buruk di Masa Lalu Masih Tersimpan

Pernah ditegur keras lewat telepon? Atau mendadak kehilangan sinyal saat bicara penting? Momen-momen kecil itu bisa meninggalkan jejak di memori dan menciptakan pola penghindaran.

Otak dirancang untuk menghindari bahaya. Dan panggilan yang dulu penuh tekanan bisa masuk dalam kategori itu.

Cara mengatasinya bukan dengan langsung menelepon klien paling menyeramkan. Mulailah dari yang mudah: panggil teman, pesan makanan, atau atur jadwal ke salon. Setiap panggilan kecil yang sukses akan menimpa jejak lama dengan memori yang lebih tenang.

5. Perfeksionisme Membuat Terjebak

Menulis naskah pesan suara selama 25 menit untuk rekaman satu menit? Ya, itu nyata terjadi. Perfeksionisme membuat banyak orang ingin terdengar sempurna, seolah setiap kata harus lolos sensor redaksi.

Padahal, kesalahan kecil justru membuatmu terdengar lebih autentik. Solusinya sederhana: tulis poin penting, bukan kalimat lengkap. Ini memberi ruang untuk spontanitas dan mengurangi tekanan untuk "berbicara seperti robot profesional."

6. Kebiasaan Teknologi Membuat Fokus Mudah Terganggu

Scrolling media sosial memberi imbalan cepat—suka, emoji, notifikasi. Sementara itu, menelepon menuntut perhatian penuh… tanpa distraksi.

Di dunia yang serba cepat, satu panggilan tanpa gangguan bisa terasa seperti kerja berat. Psikolog menyebut bahwa hilangnya tanda visual membuat kita jadi terlalu sadar akan suara dan kata-kata sendiri.

Coba bangun ritual singkat sebelum menelepon: matikan notifikasi, jauhkan layar, dan tarik napas dua kali. Itu memberi sinyal ke otak bahwa satu-satunya “tab” yang terbuka sekarang adalah percakapan ini.

Jika kamu merasa cocok dengan lebih dari satu poin, itu bukan berita buruk. Justru itu artinya ada lebih banyak pintu untuk masuk dan mengubah pola.

Menelepon tidak harus terasa seperti ujian. Ceritakan sinyal yang hilang, redam suara kritis, buat agenda singkat, ubah rekaman mental lama, singkirkan naskah penuh, dan fokuskan perhatian.

Kecemasan menelepon bukan tanda kelemahan—itu respons normal terhadap dunia modern yang penuh pilihan komunikasi lain. Tapi dengan pendekatan yang tepat, ponsel yang dulunya bikin jantung berdebar bisa berubah menjadi alat sederhana untuk terhubung.

Coba mulai dari panggilan kecil yang selama ini ditunda. Jadwalkan pemeriksaan gigi, mungkin? Terapkan satu strategi dari daftar tadi, dan rasakan sendiri perbedaannya.

Ulangi. Latih. Sampai akhirnya, suara dering itu tidak lagi terdengar seperti alarm bahaya—hanya nada, dan mungkin, awal dari percakapan yang menyenangkan.

Post a Comment

Previous Post Next Post