MasRizky Beberapa nama varian terbaru dari COVID-19 yang muncul dalam beberapa bulan terakhir antara lain varian LP.8.1 dan NB.1.8.1.
Nama terakhir merupakan versi variannya Nimbus yang sedang mendapat perhatian dunia saat ini. Profesor di bidang Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), yaitu Prof. Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan beberapa informasi tentang jenis variasi baru tersebut.
"Pertama, menurut laporan Terkini tentang Berita Wabah Penyakit dari WHO yang dirilis pada awal April 2025, variasi LP.8.1 telah mengalami penurunan dalam hal siklus transmisi sedangkan variasi baru bernomor NB.1.8.1 tengah naik daun dan sekarang menjadi fokus utama global serta dinamakan sebagai varian Nimbus," ungkapnya saat berada di Jakarta, Rabu tanggal 11 Juni 2025.
Selanjutnya, WHO sudah mengklasifikasikan varian Nimbus sebagai Variant Under Monitoring (VUM). Di dalam skema pengelompokan WHO, VUM merupakan salah satu dari tiga kelompok utama variasi virus, berada di bawah Variants of Interest (VOI) serta Variants of Concern (VOC).
"Variasi yang termasuk dalam kelompok VUM bisa mengalami perubahan status sesuai dengan kemajuan data ilmiah di masa mendatang," katanya seperti dilaporkan Antara.
Genomik secara, menurut penjelasan Tjandra, varian Nimbus berhubungan erat dengan varian XDV.1.5.1 serta JN.1. Apabila kita membandingkannya dengan varian LP.8.1 yang pernah mendominasi sebelumnya, Nimbus ini mengandung beberapa modifikasi kunci dalam struktur protein puncak, antara lain di lokasi T22N, F59S, G184S, A435S, V445H, dan T478I.
Di samping itu, Tjandra mengatakan pula bahwa adanya mutasi pada posisi 445 dari protein spike dapat memperkuat ikatan virus terhadap reseptor hACE2. Hal tersebut diyakini bisa membuat strain ini lebih mudah penyebarannya, dan mungkin jadi alasan utama untuk melonjaknya jumlah infeksi COVID-19 di berbagai belahan dunia sekarang.
Tjandra, sekaligus Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, menyebut bahwa adanya perubahan pada urutan ke-435 dan 478 mencerminkan penurunan daya serang antibodi terhadap virus tersebut, yang berarti meningkatkan kapabilitas sistem kekebalan tubuh dari variasi baru itu.
"Sampai tanggal 18 Mei 2025, terdapat 518 urutan_NB.1.8.1 yang sudah dilaporkan ke GISAID oleh 22 negeri berbeda. Persentase variasi tersebut naik dari 2,5% di awal bulan April hingga mencapai 10,7% secara dunia pada minggu epidemiologi antara 21 dan 27 April tahun 2025," katanya.
Menurut Tjandra, kenaikan ini terlihat di Asia, Eropa, dan Amerika. Dia juga menyarankan agar Indonesia meningkatkan pemantauan genomik, termasuk dengan mengimplementasikan kebijakan uji COVID-19 bagi seluruh pasien SARI yang dirawat serta 5% dari kasus ILI.
Dia mengatakan semua hasil yang positif harus di kirim untuk Whole Genome Sequencing.
Terakhir, kata Tjandra, sesuai dengan informasi dari World Health Network, ada empat poin utama mengenai varian Nimbus. Pertama, varian tersebut nampaknya memiliki penyebaran yang lebih cepat.
Kedua, gejalanya dapat mencakup rasa sakit di tenggorokan yang terasa seperti tertusuk gunting, merasa letih, batuk ringan, demam, serta nyeri pada otot. Ketiga, intensitas dari penyakit ini masih memerlukan penelitian lebih jauh sebelum ditentukan secara pasti.
Keempat, munculnya variannya di musim panas mengindikasikan bahwa COVID-19 dapat menyebar bukan hanya saat cuaca dingin.
"Dengan perubahan yang terjadi, persiapan dan penguatan deteksi awal sangat penting supaya kita dapat menangani penyebaran varian tersebut secara efektif," ujarnya.
Post a Comment