
https://www.masrizky.biz.id/, Jakarta - Ilmuwan Cina belakangan mengumumkan kelahiran Dzo, hasil kloning sel somatik pertama di dunia. Terobosan dari daerah otonom Xizang ini dinilai penting bagi teknologi pemuliaan ternak di dataran tinggi, sekaligus menjadi upaya pelestarian spesies yang terancam punah.
Dzo merupakan hasil persilangan yak betina dan sapi jantan lokal. Hewan ini memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap kondisi ekstrem dataran tinggi Qinghai-Tibet. Keberadaannya membawa keuntungan ekonomi yang tinggi, mulai dari produksi susu, hasil daging yang efisien dan bergizi, serta untuk kekuatan angkut.
Mengutip ulasan Xinhua pada 12 Juli lalu, Dzo jantan di Xizang lahir pada 12 Mei 2025 melalui operasi caesar dengan bobot 26 kilogram. Pengujian genetik memastikan bahwa anak dzo itu merupakan salinan genetik identik dari dzo pendonor. Hingga lebih dari dua bulan setelah kelahiran, hewan itu dilaporkan sehat.
Proyek kloning ini digagas oleh tim kolaboratif yang terdiri dari Institut Ilmu Hewan (Institute of Animal Sciences/IAS) di bawah naungan Akademi Ilmu Pertanian Cina (CAAS), akademi ilmu pertanian dan peternakan, serta fasilitas peternakan dan kedokteran hewan di Xizang. Mereka juga bekerja sama dengan Universitas Pertanian Cina dan Northeastern University.
“Ini menandai penerapan pertama yang berhasil dari kloning sel somatik in situ di dataran tinggi Xizang, khusus untuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya genetik yang telah disesuaikan secara lokal,” kata Yu Dawei, peneliti dari CAAS-IAS yang memimpin penelitian tersebut, dikutip dari Antara, Ahad, 13 Juli 2025.
Dzo jantan itu diketahui tidak subur, sehingga penyebaran genetik unggulnya tidak bisa dilakukan secara alami. Di sisi lain, teknik transfer embrio yang penting untuk pemuliaan juga belum berkembang optimal di Xizang. Kondisi ini membuat upaya pembiakan masih bergantung pada kawin silang buatan berulang. Biayanya juga tinggi dan menyulitkan industrialisasi.
Dalam penelitian ini, ilmuwan mengekstrak sel somatik dari telinga dzo dewasa berusia 9 tahun. Inti dari sel tersebut kemudian dipindahkan ke dalam sel telur sapi yang intinya telah diangkat, untuk menghasilkan embrio hasil kloning.
Embrio ini kemudian ditanamkan ke induk dzo pengganti yang menjalani kehamilan di tengah tantangan lingkungan dataran tinggi, seperti suhu dingin dan kadar oksigen rendah. “Kloning ini memungkinkan pewarisan stabil dari sifat-sifat unggul yang diinginkan, seperti hasil panen yang tinggi dan ketahanan terhadap lingkungan,” tutur Yu. Teknologi ini juga disebut membuka jalan pembiakan ternak bibit unggul berkualitas tinggi secara massal.
Yu menjelaskan, kloning di dataran tinggi menghadirkan tantangan ilmiah tersendiri. Tim peneliti mengatasi kesulitan melalui inovasi teknis utama, termasuk pengembangan sistem kultur embrio yang disesuaikan dengan kondisi dataran tinggi. “Memastikan perkembangan awal embrio melalui pengendalian parameter, seperti suhu dan pH, secara berpresisi,” tutur dia.
Protokol pemilihan induk pengganti juga telah dioptimalkan guna meningkatkan peluang keberhasilan kehamilan. Yu menambahkan, sistem yang telah tervalidasi ini juga membuka peluang untuk pelestarian spesies dataran tinggi yang terancam punah lainnya melalui penyimpanan gen (gene banking) dan restorasi di habitat aslinya, seperti antelop Tibet dan yak
Post a Comment