Masrizky , JAKARTA — APSyFI atau Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia menolak tuduhan yang diajukan oleh KPPU yaitu tentang keputusan mengenai penambahan tarif bea masuk. Anti-Dumping (BMAD) untuk produk polyester oriented yarn dan draw textured yarn (POY-DTY).

Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSyFI, menyebutkan bahwa kebijakan BMAD yang diimplementasikan pemerintah sebenarnya bertujuan untuk meregenerasi situasi industri lokal yang telah lama terhambat oleh perilaku dagang merugikan, seperti praktek dumping.

Seharusnya kompetisi bisnis itu terjaga dengan baik, bukan? Dalam hal ini, pemerintah, lebih spesifik lagi Kementerian Perdagangan, Kemendag ) telah menyelesaikan tanggung jawab mereka. Mereka sudah melakukan analisis, mengumpulkan bukti, dan pada akhirnya dapat dipastikan adanya praktek dumping," ungkap Redma melalui pernyataan tertulis, Kamis (29/5/2025).

Dia menggarisbawahi bahwa dumping merupakan suatu bentuk bisnis yang merugikan dan memiliki efek negatif pada perusahaan dalam negeri. Dia menyatakan bahwa kebijakan Bea Masukan Anti-Dumping (BMAD) harus diimplementasikan guna membentuk lingkungan dagang yang adil. playing field yang adil bagi industri tekstil .

Sebelumnya, KPPU khawatir bahwa penentuan BMAD bisa mengacaukan persaingan bisnis dan merugikan perusahaan di sektor hulu tekstil.

"Dumping ini merupakan suatu bentuk kegiatan bisnis yang merugikan. Ini berarti, KPPU juga harus memiliki kesadaran untuk menjaga industri lokal agar terlindung dari tindakan seperti itu," jelasnya.

Lebih lanjut, Redma menyebutkan bahwa aturan tersebut juga dilaksanakan setelah adanya penyelidikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), sebuah badan pemerintah resmi yang bertugas mengatasi masalah dumping. Hasil penyeledikian ini menunjukkan bahwa barang-barang impor dipasarkan dengan harga yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan harganya di negara asalnya.

"Yang ini bukan sekadar pandangan kami saja. Hal itu telah dikonfirmasi oleh badan resmi pemerintahan [KADI], lembaga yang memiliki kewenangan serta pedoman hukumnya. Oleh karena itu, mereka memiliki dasar," jelasnya.

KPPU juga menggarisbawahi jika sebuah perusahaan lokal tampaknya memegang kendali atas pasokan POY di Indonesia.

Akan tetapi, menurut pandangan Redma, dominasi itu muncul karena adanya praktek dumping yang menghancurkan industri textile, lebih spesifik di bagian awal rantai pasokan atau sektor hulu.

"Jika dilihat dari perspektif KPPU, saat ini tampaknya hanya ada satu perusahaan utama yang menyediakan produk dalam negeri untuk POY tersebut. Namun, sesungguhnya ada lima pabrikan. Hanya saja, akibat praktek dumped import, tiga diantaranya telah mengalami penutupan. Perusahaan satunya lagi hanya mampu berproduksi secukup-cukupnya. Oleh karena itu, mengapa nampak seperti hanya ada satu pemain besar? Ini disebabkan oleh fakta bahwa sisanya sudah bangkrut lebih awal," jelas dia.

Karenanya, Redma menganjurkan bahwa implementasi BMAD malah dimaksudkan untuk meregenerasi persaingan bisnis dengan merestart operasional perusahaan-perusahaan lokal yang sempat terhentikan dampak dari serangan produk dumping.

Oleh karena itu, pasar kini tidak lagi dikuasai oleh satu pelaku saja sehingga keadaan di dalam industri menjadi lebih baik dan terkendali dengan tepat.

"Bukan malah kami meminta untuk menerapkan anti dumping agar situasinya dapat terbalik. Agar perusahaan-perusahaan yang dulunya tutup kini bisa beroperasi lagi. Sehingga pasar tidak hanya di dominasi oleh satu pelaku saja. Semestinya hal tersebut membuat persaingan menjadi lebih sehat, bukan?" penjelasannya.

Selain itu, Redma menyatakan bahwa berkat kebijakan BMAD, produksi POY diproyeksikan dapat meningkat hingga 430.000 ton setiap tahunnya.

Dari total tersebut, kira-kira 300.000 ton akan digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam APSyFI untuk proses produksinya masing-masing, sedangkan selebihnya, yaitu sekitar 130.000 ton, direncanakan untuk dijual ke pasaran lokal guna memenuhi permintaan dari berbagai industri lainnya.

"Bila ketiganya bangkit kembali dari kebangkrutan, kapasitas produksinya dapat mencapai total 430.000 ton. Bagian akan digunakan untuk diri mereka sendiri, sementara bagian lainnya mampu menutupi sebagian impor yang saat ini masih tercatat sebanyak 130.000 ton," jelasnya lebih lanjut.

Redma juga menggarisbawahi kesetaraan dalam hal pricing. Menurut beliau, pihak pengusaha lokal domestik siap untuk bertanding, selama kondisi pasar memungkinkan persainganan dengan tingkat harga yang wajar dan seimbang.

Dia juga menyebut bahwa terdapat beberapa barang yang dijual di Indonesia dengan harga sekitar US$0,95 per kilogram, sementara harga pasarnya biasanya berkisar antara US$1,15 hingga US$1,20 per kilogram.

"Harga biasa untuk POY berkisar antara US$1,15 hingga US$1,2 per kilogram, namun saat ini terdapat penawaran di bawah US$1, termasuk harga US$0,95. Ini tentu saja menunjukkan adanya dumping," imbuhnya.

Walaupun begitu, APSyFI tetap mengakui posisi dan fungsi KPPU dalam menegakkan kompetisi bisnis di tanah air. Harapan Redma kepada KPPU adalah agar mereka dapat memandang keputusan BMAD sebagai elemen untuk mendukung pemulihan iklim kompetitif yang adil, daripada menjadi rintangan tambahan.

Saya kira KPPU belum menyentuh masalah tersebut. Sebetulnya hal ini adalah tentang sesuatu yang berbeda. predatory pricing Namun dengan komunikasi yang efektif, saya percaya bahwa setiap pihak dapat memiliki pemahaman yang sama tentang kepentingan untuk melindungi sektor kita," tandasnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post