Masrizky.CO.ID, JAKARTA – Prabowo Subianto sebenarnya tidak menjadi pemimpin negeri Indonesia pertama yang bersedia menerima keberadaan negara Israel berdasarkan kondisi tertentu. Presiden-presiden sebelumnya telah menambahkan persyaratan lain di luar pengesahan kedaulatan Palestina.
Mengevaluasi jejak sejarah, negara Zionis Israel telah lama menginginkan untuk membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia. Kepentingan strategis mereka pastinya akan meningkat pesat apabila berhasil mendirikan tautan dengan negeri yang memiliki populasi Muslim terbesar di planet ini.
Secara historis, Indonesia telah lama menentang pembentukan negara Israel karena alasan ekspansi terhadap wilayah Palestina yang dijadikan bawah kendali mereka. Akan tetapi, pada bulan Desember tahun 1949, Presiden Israel saat itu yakni Chaim Weizmann bersama Perdana Menteri David Ben-Gurion berupaya meyakinkan pihak Indonesia lewat pengiriman telegram untuk memberikan pesan selamat kepada Sukarno dan Mohammad Hatta atas pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia dari dominasi Belanda. Selanjutnya, pada Januari 1950, Kementerian Luar Negeri Israel dalam hal ini oleh Moshe Sharett menyampaikan secara tertulis bahwa Israel memilih untuk mengenalkan Indonesia sebagai sebuah bangsa bebas dan mandiri.
Hatta merespons pesan-pesan tersebut dengan kata-kata berterimakasih. Meski begitu, dia tegas menyampaikan bahwa Indonesia tidak berniat untuk membayar balik Israel dengan penghargaan kedaulatan yang sama. Di tahun 1955, Indonesia secara bersama-sama dengan beberapa negara Asia-Afrika lainnya menentang pengenalan keberadaan Israel serta mendukung hak mandiri bagi Palestina. Tahun 1962, Presiden Sukarno mengumumkan pengebiran Israel dari partisipasi dalam ajang Asian Games sepanjang tahun tersebut.
Usaha dalam membentuk kerja sama diplomatik terus diteruskan oleh Israel sepanjang tahun 1990-an. Di awal dekadenya, tepatnya pada 1993, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Ali Alatas bertemu secara resmi dengan Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres saat sidang-sidang Forum HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlangsung di Vienna. Kunjungan tersebut disambung dengan perjalanan singkat perdana menteri Israel Yitzhak Rabin menuju Jakarta guna bertemu langsung dengan Presiden Soeharto. Selain itu, kedua pemimpin ini pun melaksanakan pembicaraan lebih jauh baik di Singapura maupun di kota New York.

Hal-hal penting lainnya yang tidak bisa dilewatkan dalam catatan adalah latar belakang signifikan dari berbagai pembicaraan ini. Pada masa itu, Yitzhak Rabin sedang menjalin negosiasi perdamaian bersama pemimpin Palestina, Yasser Arafat. Kedua pihak berhasil mencapai kesepakatan pada Perjanjian Oslo, yang menyatakan jaminan kemerdekaan bagi rakyat Palestina.
Dalam hal tersebut, Ali Alatas berjumpa dengan Simon Peres. Indonesia baru akan menimbang buka opsi hubungan diplomatik apabila negosiasi perdamaian berhasil mencapai kesepakatan dan terdapat jaminan mengenai kedaulatan Palestina.
Soeharto, dilaporkan Masrizky Pada tahun 1995, disebutkan bahwa dalam sebuah pertemuan di New York menunjukkan pula bahwa Israel perlu mereturn seluruh daerah yang diduduki dari Palestina sebelum membahas tentang urusan diplomasi antar kedua negeri tersebut.
Di penghujung tahun 1995, Benjamin Netanyahu selaku ketua partai kanan Likud merancang protes massal melawan Perjanjian Oslo. "Matilah Rabin, Matilah Rabin!" menjadi sorakan yang dapat didengar di kalangan para pendemo. Di antara mereka ada Itamar Ben Gvir, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel. Saat itu dia tertangkap kamera sedang memegang hiasan dari kendaraan Yitzhak Rabin.
"Kami sudah mendapatkan kendalinya, sebentar lagi kami akan mendapatkannya," katanya waktu itu. Satu bulan setelahnya, Rabin ditembak mati.
Di bulan November 1995, Yitzhak Rabin menjadi korban pembunuhan oleh Yigal Amir, seorang ekstremis yang membantah syarat-syarat dari Perjanjian Oslo. Amir dinyatakan bersalah dalam kasus ini dan mendapat vonis penjara selama sisa hayatnya. Dengan demikian, peluang untuk mencapai perdamaian antara Israel dengan Palestina saat itu pun semakin suram terwujud.
Masa Gus Dur...
Tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memulai diskusi tentang hubungan diplomatik dengan Israel. Dia dikenal memiliki persahabatan dengan Shimon Peres, orang yang berpartisipasi dalam negosiasi perdamaian bersama Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat. Mereka bertiga mendapat Penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1994.
Pada masa itu, Simon Perez menempati posisi sebagai menteri urusan kerjasama regional dengan Israel. Mirip dengan Soeharto, Gus Dur juga memiliki beban besar terkait pembentukan hubungan diplomatis dengan Israel yang tidak dapat dinegosiasikan. Alasannya pertama adalah mendukung kemerdekaan Palestina, diikuti oleh penuntutan agar Israel mundur dari Dataran Tinggi Golan.
Dataran Tinggi Golan merupakan bagian dari Suriah yang telah dikenalkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan tetapi, Israel merebut kontrol atas Dataran Tinggi Golan selama peristiwa Perang 1967 dan kini mereka memiliki kekuasaan atas area barat dengan luas mencapai 1.200 kilometer persegi. Tak lama sesudah penguasaannya terhadap sektor tertentu di Golan, Israel pun mulai merancang permukiman-permukiman secara tidak sah dalam daerah itu. Suatu zona demiliterisasi yang dikontrol oleh pasukan PBB digunakan untuk membatasi antara wilayah yang direnggut oleh Israel dengan area-area lainnya yang masih dipengaruhi Suriah.
Akan tetapi, Israel sudah mendirikan lebih dari 30 permukiman di daerah itu, tempat tinggal bagi lebih dari 25.000 penduduk Yahudi-Israel. Ini juga mengindikasikan bahwa mereka berencana untuk terus membangun lebih lanjut.

Tidak ada negara lain, terkecuali Amerika Serikat saat diperintahkan oleh Donald Trump pada tahun 2019, yang mendukung kediaman Israel di wilayah Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Menurut resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dari tahun 1981, upaya pengambilalihan tersebut ditentang dan otoritas Israel disebut-sebut sebagai "tidak sah secara hukum serta tak memiliki efek dalam konteks peraturan internasional". Konfirmasi A.S tentang hadirnya Israel di daerah ini tetap berjalan bahkan ketika kepemimpinan berganti kepada presiden Joe Biden.
Ini berarti bahwa hingga saat ini, ketentuan yang diperkenalkan oleh Soeharto dan Gus Dur untuk mengenali Israel masih jauh dari terpenuhi meskipun secara teori Israel telah menyetujui kemerdekaan Palestina.
Post a Comment