Oleh: Watumesa A. Tan, Dosen Unika Atma Jaya dan Dian Burhani, Peneliti BRIN

PERNAH berbelanja dan mendapati kantong plastik bertulis­kan ‘bioplastik’, plastik ‘biodegradabel’, ‘ramah lingkungan’, atau ‘pasti terurai’?

Memakai kantong plastik dengan label-label itu mungkin selintas membuat kamu berpikir sudah membuat pilihan yang lebih baik bagi Bumi. Namun, pernahkah Anda berpikir apakah klaim tersebut benar adanya?

Riset membuktikan, plastik dengan label biodegradabel sekalipun ternyata tidak bisa hancur secara keseluruhan dengan sendirinya di lingkungan terbuka.

Apa itu plastik biodegradabel? Plastik biodegradabel umumnya didefinsikan sebagai jenis plastik yang bisa diurai oleh mikroorganisme menjadi air, karbondioksida, dan biomassa.

Plastik biodegradabel terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, plastik yang terbuat dari bahan polimer alami atau bioplastik, seperti plastik olahan pati singkong, polylactic acid (PLA) dari pati jagung, dan polyhydroxyalkanoates (PHA) yang diproduksi oleh mikroba.

Kedua, plastik sintetis seperti oxo-biodegradable, yang diberi tambahan zat pro-oksidan agar lebih mudah terurai saat terkena panas atau terpapar sinar matahari.

Kemampuan kedua jenis plastik ini untuk terurai sangat bergantung pada jenis bahan dan lingkungan tempat plastik itu dibuang.

Contohnya, plastik berbahan PLA yang sering digunakan untuk alat makan sekali pakai, hanya bisa terurai secara optimal di fasilitas industri, dengan suhu tinggi di atas 58 derajat Celsius dan juga butuh mikroorganisme khusus untuk mengurainya. Dengan kata lain, jika plastik tersebut masuk tempat pembuangan biasa, maka nasibnya akan sama saja dengan sampah plastik biasa yang sulit terurai.

Sementara untuk jenis bioplastik berbasis pati singkong, penelitian kami yang dipublikasikan pada 2022 silam menunjukkan bahwa plastik tersebut bisa menyusut hingga 74% saat dikubur di tanah kompos selama 120 hari. Namun, butuh penelitian lebih lanjut untuk memastikan, apakah jenis bioplastik ini memang bisa terurai sepenuhnya dalam jangka waktu tertentu dan apakah ada potensi dampak lingkungan lebih lanjut.

Plastik sintetis seperti oxo-biodegradable lebih sulit lagi. Studi lain yang terbit di jurnal American Chemical Society menunjukkan, sebuah kantong plastik yang di­label oxo-biodegradable masih tampak utuh setelah tiga tahun dikubur di tanah.

Limbah

Pada akhirnya, plastik biodegradabel, baik bioplastik maupun oxo-biodegradable tetap dapat menghasil­kan limbah, sama dengan plastik konvensional. Limbah ini bisa berbentuk nanoplastik, dan bahkan dalam bebe­rapa kasus menghasilkan mi­k­roplastik lebih banyak di­bandingkan dengan plastik biasa.

Sebuah studi yang terbit pada 2024 lalu memban­dingkan pembentukan mi­kro­plastik dari plastik konvensional dan bioplastik pada saat penguraian dalam air. Hasilnya cukup mengejut­kan karena ternyata mikroplastik justru lebih banyak terbentuk dari bioplastik sebab kemampuannya untuk terurai dalam air sangat rendah. Di perairan, bioplastik akan mengapung atau mengendap di badan air menjadi sedimen.

Sama seperti sampah plastik biasa, plastik biodegra­dabel juga mengandung berbagai zat aditif atau bahan tambahan untuk mening­kat­kan kualitas produknya, seperti plasticizer (pelembut), flame retardant (penahan api), antioksidan, agen hidrofobik atau zat antiair dan senyawa kimia berbahaya lainnya.

Pada saat plastik tersebut terurai, zat aditif tersebut ikut terlepas ke lingkungan dan berpotensi membahayakan kesehatan. Penelitian terbaru pada tikus menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap bioplastik berbahan dasar pati misalnya, bisa menyebabkan gangguan metabolisme, seperti resistensi insulin dan gangguan dalam pengolahan lemak tubuh.

Opsi terbaik

Jika melihat fakta-fakta di atas, maka kantong plastik biodegradabel, baik bioplastik maupun oxo-biodegra­dable, tidak bisa disebut sebagai alternatif solusi mengatasi polusi plastik.

Akar masalah plastik harus dilihat dari seluruh aspek—mulai dari bahan baku sampai limbah akhirnya.

Bioplastik, meski bebas dari bahan baku petrokimia seperti minyak bumi atau gas alam misalnya, bahan bakunya tetap berasal dari bahan alami seperti pati jagung atau singkong yang berpotensi menyebabkan persaingan de­ngan pangan serta membuka lahan.

Plastik biodegradabel, baik bioplastik maupun oxo-biodegradable, juga masih bisa menghasilkan limbah, dengan sejumlah senyawa yang bi­sa mencemari ling­kungan dan berbahaya bagi kesehatan.

Jadi, selama belum ada sistem pengolahan limbah plastik biodegradabel yang tepat, langkah paling ramah lingkungan adalah mengurangi penggunaan plastik, terutama yang sekali pakai.

Dalam hal ini, bukan hanya kesadaran konsumen terhadap plastik yang dibutuhkan. Lebih penting lagi, sejak dari hilir, pemerintah harus segera membatasi produksi dan menetapkan kuota maksimum per tahun untuk plastik murni dengan mela­kukan kajian yang mempertimbangkan kebutuhan plastik nasional, material footprint, dan kesiapan teknologi pengolahan limbah plastik.***

Post a Comment

Previous Post Next Post