
MasRizky Walaupun ini merupakan suatu kebenaran yang sulit diterima, sebagian besar orangtua belum tentu telah siap secara psikologis dan emosi untuk mengasuh anak dengan tepat. Meskipun beberapa di antaranya memiliki niat baik, metode pendidikan serta bagaimana mereka menangani anak dapat meninggalkan trauma dalam hati sang anak.
Tanda bahwa para orang tua belum siap untuk mengasuh dengan baik dapat terlihat dari kebiasaan mereka menumpahkan kritikan yang menusuk hati serta meremehkan anak-anak. Sementara itu, sebenarnya bukanlah waktunya bagi anak-anak untuk ditanggung beban emosional semacam ini.
Berdasarkan laporan dari Geediting, berikut adalah kelima tipe kritikan umum yang kerap disampaikan oleh para orangtua yang masih kurang siap menjalani peran sebagai guru bagi buah hati mereka.
1. Menyamakan Kesedihan dengan Sifat Lemah Lewat Tangisan
Ketika seorang anak menangis, ini tidak selalu berarti bahwa mereka lemah. Mereka mungkin tengah merasakan sakit, kekecewaan, atau cukup membutuhkan perhatian dan pendengaran kita. Namun, orangtua yang belum siap sering kali menyematkan cap "lemah" atau "suak air mata" kepada anak-anak yang sedang bersedih.
Kritikan ini menunjukkan bahwa mereka belum mampu memahami pentingnya mengakui dan menerima emosi anak. Kalau ini dibiarkan, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, bahkan merasa bersalah hanya karena merasa sedih.
2. Menyuruh Anak untuk Tidak Terlalu Sering bertanya
Pertanyaan merupakan metode bagi anak untuk mengeksplorasi dan mengerti lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, ada juga orangtua yang jadi terganggu oleh jumlah pertanyaan yang diajukan si anak.
Tindakan marah-marah atau memerintahkan anak untuk bungkam dapat menghancurkan semangat mereka untuk belajar lebih lanjut. Secara berkala, hal ini bisa membuat anak menjadi orang dewasa yang enggan bertanya, kesulitan dalam berfikiran kritis, serta selalu merasa bersalah ketika memiliki niatan untuk mencari ilmu tambahan.
3. Emosi Naik Saat Anak Melakukan Keteledoran
Kegagalan merupakan suatu bagian dalam pembelajaran. Namun, banyak orangtua yang belum siap kerapkali bereaksi dengan kemarahan berlebihan saat sang buah hati membuat kesalahan, meski hal tersebut terbilang kecil.
Bukan disebabkan oleh kesalahan tersebut secara langsung, tetapi karena orang tua tengah menghadapi tekanan, rasa letih, atau marah terkait dengan masalah lain. Akibatnya anak-anak jadi mempelajari ketakutan akan kegagalan dan berkembang menjadi pribadi yang perfeksionis serta selalu merasakan kewaspadaan berlebih. Karena khawatir akan mendapat hukuman atau celaan, mereka tumbuh tanpa memiliki nyali untuk mencoba sesuatu baru.
4. Menyikapi Anak Sebagai Bayi yang Tak Mampu Melakukan Apapun
Anak-anak yang tertarik untuk mencoba sesuatu yang berbeda, misalnya ikut campur dalam proses masak-memasakan atau menyusun ulang mainannya, kerap kali dihentikan oleh para orang tu mereka. Argumen utamanya biasanya adalah, "Nanti justru akan menimbulkan kekacauan."
Sebenarnya, hasrat anak untuk mencoba merupakan dasar dari mandiri. Namun, bila orangtua selalu meremehkan kemampuan si anak, hal ini dapat membuat pertumbuhan mereka dalam membangun kepercayaan diri menjadi tertahan. Hal tersebut berujung pada pembentukan individu dewasa yang cenderung lebih bersandar kepada orang lain.
5. Tidak Menghargai Kebenaran Si Buah Hati
Ketika si kecil dengan jujurnya mengakuinya kesalahannya, tindakan tersebut mestinya diberi apresiasi. Namun bila tanggapan sang ortu malah berupa amarah atau hukuman, maka anak akan menyimpulkan bahwa bersikap terbuka bisa membawa bahaya.
Seiring waktu, anak-anak mulai terbiasa menyembunyikan atau membenarkan kesalahan mereka, termasuk berbohong, untuk mengelakan hukuman. Hal ini dapat menciptakan individu yang kurang tanggung jawab serta cenderung menghindar dari akibat perbuatan mereka.
Tren-tren ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah besar orangtua yang belum memiliki persiapan emosi yang cukup untuk mengasuh anak. Ironisnya, cibiran yang sering kali dianggap remeh dapat memberikan dampak yang bertahan lama.
Post a Comment