Mas Rizky - Kita hidup di zaman di mana foto makanan bisa lebih menggoda di layar daripada di atas piring, dan wajah orang di feed Instagram nyaris sempurna setiap saat. Tapi pernahkah kamu bertanya, apakah semua itu nyata? Atau sebenarnya kita cuma sedang melihat dunia yang sudah "dipoles" oleh kecanggihan AI?
Di balik kemudahan teknologi yang bikin hidup makin praktis, ada sisi lain yang diam-diam memengaruhi cara kita memandang realitas. Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar alat bantu ia telah menjadi “editor realitas” yang mengubah cara kita melihat diri sendiri, orang lain, bahkan dunia sekitar. Bukan cuma soal filter wajah atau algoritma pencarian, tapi lebih dalam dari itu: persepsi kita bisa jadi sudah digeser tanpa sadar.
Dan yang bikin lebih rumit, semua ini terjadi secara halus. Kita nggak lagi bisa bedain mana yang otentik dan mana yang hasil rekayasa. Dunia maya yang diwarnai AI perlahan-lahan membentuk ekspektasi yang nggak realistis tentang dunia nyata. Yuk, kita bahas lebih dalam gimana cara AI memengaruhi persepsi kita dan bikin kita (secara nggak sadar) salah paham sama kenyataan.
Dalam dunia visual, AI bekerja seperti penyihir. Dengan teknologi deepfake, face enhancement, sampai filter AR yang makin canggih, kita bisa mengubah tampilan wajah dalam hitungan detik. Tapi masalahnya, semakin sering kita lihat wajah yang “disempurnakan”, semakin standar itu jadi acuan kita tentang kecantikan atau ketampanan. Realitas yang terlihat alami justru dianggap “kurang menarik” karena otak kita terbiasa dengan versi yang sudah diedit.
Hal serupa juga terjadi di media sosial. AI mengatur algoritma yang menampilkan konten sesuai preferensi kita. Tapi saking “terpersonalisasi”-nya, kita sering terjebak di dalam filter bubble ruang yang hanya memperkuat apa yang sudah kita percayai. Akibatnya? Kita kehilangan sudut pandang lain, dan dunia terasa sempit, padahal sebenarnya luas banget.
AI juga punya peran besar dalam menciptakan ekspektasi sosial yang tidak realistis. Contohnya, AI-generated influencer yang tampak sempurna 24/7 bikin kita (tanpa sadar) membandingkan diri dengan standar yang sebenarnya nggak manusiawi. Bahkan dalam hal makanan, destinasi liburan, atau gaya hidup, AI kerap digunakan untuk mengedit visual agar terlihat lebih "dreamy". Hasilnya, kehidupan sehari-hari kita terlihat membosankan jika dibandingkan dengan versi digital yang serba ideal.
Salah satu sisi yang paling sering dilupakan adalah bagaimana AI memengaruhi informasi yang kita terima. Chatbot, algoritma berita, dan rekomendasi video semua dikendalikan oleh sistem cerdas yang menyesuaikan konten dengan pola interaksi kita. Tanpa disadari, kita jadi percaya bahwa apa yang kita lihat adalah kebenaran, padahal itu hanyalah versi algoritmik dari kenyataan.
Namun, bukan berarti kita harus takut atau menjauhi teknologi. Yang penting adalah tetap sadar dan kritis. Sadari bahwa AI adalah alat, bukan kacamata utama untuk melihat dunia. Jangan mudah percaya pada visual yang terlalu sempurna, dan ingat bahwa dunia nyata penuh dengan ketidaksempurnaan yang justru bikin hidup terasa lebih manusiawi.
AI bisa mengubah cara kita memandang dunia. Bukan cuma soal filter, tapi juga persepsi yang makin jauh dari realitas sebenarnya.***
Post a Comment